Dalam traveling, katanya kita akan banyak mengalami kejadian tidak terduga. Serapih, dan sedetail apa pun itinenary dibuat. Misalnya ketika saya di transit di Malaysia. Waktu mendarat di Bandara KLIA2, saya tidak sadar kalau penyesuaian waktu otomatis di ponsel saya dalam mode unactive. Padahal waktu di Malaysia lebih cepat satu jam dari Indonesia, dan penerbangan saya ke Kamboja berjarak dua jam lagi waktu Malaysia. Tapi karena saya melihat jam di ponsel, jadi saya mengira masih ada tiga jam lagi buat saya leyeh-leyeh. Waktu tiga jam versi saya itu saya gunakan untuk makan, jajan di minimarket, mendengarkan musik, memperbarui status sosmed, sampai sempat-sempatnya memikirkan bagaimana jika pesawat terbang terbuat dari kardus indomi.
Beruntung saya melihat monitor informasi penerbangan, dan mata saya tepat menghunus ke nomor penerbangan saya. Sudah boarding. Saya melihat jam di ponsel, masih satu jam lagi, kok. Saya cek status zona waktu di ponsel. Ouch! Masih waktu Indonesia. Saya bertanya jam berapa ke seorang turis di sebelah, dan dia menjawab persis seperti jam keberangkatan saya. Saya pun lari, mencari gate 24 yang jaraknya sangat layak bagi saya untuk memesan ojek online. Untung sudah check in, untung keburu sadar, untung saya ganteng, dan sederet untung lain yang mengiringi rasa syukur saya.
Akibat kejadian itu saya jadi sedikit parno soal waktu, ini resiko terberat dalam solo traveling, tidak ada ‘alarm’ pengingat keteledoran. Waktu beli tiket bus Viantiane ke Luang Prabang saya berkali-kali mencocokkan jadwal keberangkatan. Petugas loketnya sampai bosan dengan pertanyaan saya kira-kira berapa lama perjalanan ke Luang Prabang. Dan saya pun tidak kalah bosan mendengar jawaban mereka, 7 jam.
Itu teorinya, karena aktualnya Viantiane-Luang Prabang adalah 10 jam. Saya harus mencoret beberapa kegiatan dalam jadwal seperti melihat sunset di Sungai Mekong, karena ketika sampai hari sudah gelap. Mau ngapain di Sungai Mekong? Mancing belut?
Jadi saya harus benar-benar memanfaatkan waktu saya di Luang Prabang yang hanya dua hari dua malam itu. Jadi saya memilah-milah atraksi apa yang bisa dimaksimalkan di Luang Prabang. Setelah keliling-keliling bertanya ke provider tur, dan penginapan, saya berkesimpulan ada tur-tur utama di kota utara Laos ini.
Untuk Pak Ou Si Cave tour ini, saya memilih untuk tidak memakai agen. Buat apa? Petunjuk ke dermaganya jelas, kok, letaknya persis di tepi sungai belakang National Museum. Tinggal menyusuri trotoar sampai ke bagian yang banyak perahunya. Harga turnya 25USD, yang mana kalau pakai agen bisa kena dua kali lipatnya. 25USD itu kalau dikonversi ke mata uang Laos jadi 410.000 kip. Itu juga buat saya, sih, mahal. Harga demikian memakan hampir setengah budget saya untuk Luang Prabang. Sedih.
Beruntung saya melihat monitor informasi penerbangan, dan mata saya tepat menghunus ke nomor penerbangan saya. Sudah boarding. Saya melihat jam di ponsel, masih satu jam lagi, kok. Saya cek status zona waktu di ponsel. Ouch! Masih waktu Indonesia. Saya bertanya jam berapa ke seorang turis di sebelah, dan dia menjawab persis seperti jam keberangkatan saya. Saya pun lari, mencari gate 24 yang jaraknya sangat layak bagi saya untuk memesan ojek online. Untung sudah check in, untung keburu sadar, untung saya ganteng, dan sederet untung lain yang mengiringi rasa syukur saya.
Akibat kejadian itu saya jadi sedikit parno soal waktu, ini resiko terberat dalam solo traveling, tidak ada ‘alarm’ pengingat keteledoran. Waktu beli tiket bus Viantiane ke Luang Prabang saya berkali-kali mencocokkan jadwal keberangkatan. Petugas loketnya sampai bosan dengan pertanyaan saya kira-kira berapa lama perjalanan ke Luang Prabang. Dan saya pun tidak kalah bosan mendengar jawaban mereka, 7 jam.
Itu teorinya, karena aktualnya Viantiane-Luang Prabang adalah 10 jam. Saya harus mencoret beberapa kegiatan dalam jadwal seperti melihat sunset di Sungai Mekong, karena ketika sampai hari sudah gelap. Mau ngapain di Sungai Mekong? Mancing belut?
Jadi saya harus benar-benar memanfaatkan waktu saya di Luang Prabang yang hanya dua hari dua malam itu. Jadi saya memilah-milah atraksi apa yang bisa dimaksimalkan di Luang Prabang. Setelah keliling-keliling bertanya ke provider tur, dan penginapan, saya berkesimpulan ada tur-tur utama di kota utara Laos ini.
- Air Terjun Kuang Si. Saya tidak memilih ini. Karena kalau dilihat dari gambar dan videonya, air terjun serupa banyak di Bogor.
- Bukit Phou Si. Bukit ini ada di tengah Kota Luang Prabang, jadi tidak perlu khawatir jauh. Pasti sempat ke sini asal kuat, mengingat harus naik anak tangga mirip di Batu Cave, Malaysia.
- National Museum. Ini juga ada di pusat kota.
- Elephant Tour. Secara teknis, ini trekking naik gajah menyusuri Sungai Mekong. Hmmm…di Way Kambas juga ada. Saya skip.
- Pak Ou Si Cave. Berbentuk gua dengan empat ribu Budha yang ada di dalamnya. Untuk ke sini, harus naik long tail boat menyusuri Sungai Mekong. Aha! Saya tertarik dan langsung memutuskan untuk ikut.
Untuk Pak Ou Si Cave tour ini, saya memilih untuk tidak memakai agen. Buat apa? Petunjuk ke dermaganya jelas, kok, letaknya persis di tepi sungai belakang National Museum. Tinggal menyusuri trotoar sampai ke bagian yang banyak perahunya. Harga turnya 25USD, yang mana kalau pakai agen bisa kena dua kali lipatnya. 25USD itu kalau dikonversi ke mata uang Laos jadi 410.000 kip. Itu juga buat saya, sih, mahal. Harga demikian memakan hampir setengah budget saya untuk Luang Prabang. Sedih.
Perahunya, tuh... |
Tur dimulai. Saya naik boat kayu dengan dominasi warna cokelat berpernis. Di anjungannya ada empat kelompok meja, dan kursi tempat peserta tur duduk. Hari itu saya berada satu kelompok dengan keluarga dari Jepang, Tiongkok, dan Korea. Asia Timur semua, saya saja yang dari tenggara. Oh iya, harga yang dibayarkan sudah termasuk makan siang.
Foto ini diambil sambil menahan dingin |
Interior perahu |
Kami disambut penuh senyum, sapa, salam, oleh seorang pemandu dengan setelan jaket hitam, kemeja putih, celana bahan hitam, dan pantofel mengkilap.
“Hello my name is Sak.”
“Suck?”
“Yes, Sak!”
“I’m sorry, Suck?” Saya meyakinkan dengan ekspresi wajah heran.
“…”
“…”
“Ooohhh…no, no…not that Suck. But, S-A-K!” Paham doi.
“Oh, Sak! Di Indonesia lu adalah satuan semen buat bangun rumah.” Kata saya…dalam hati.
Kesalampahaman pun teratasi. Sak sangat bergembira ada turis nonbule, dan nonAsia Timur. Apalagi setelah saya menyebutkan saya dari Indonesia, saya terharu ketika dia bilang, “Welcome my friend! You're like us!”. Dia juga menanyakan, apakah masalah jika saat makan siang nanti saya dihidangkan daging babi. Tentu saya jawab, saya tidak makan babi. Sak mengerti, selain tidak menghidangkan babi, dia juga tidak pernah menawarkan saya bir. Excelent tourism knowledge!
“Suck?”
“Yes, Sak!”
“I’m sorry, Suck?” Saya meyakinkan dengan ekspresi wajah heran.
“…”
“…”
“Ooohhh…no, no…not that Suck. But, S-A-K!” Paham doi.
“Oh, Sak! Di Indonesia lu adalah satuan semen buat bangun rumah.” Kata saya…dalam hati.
Kesalampahaman pun teratasi. Sak sangat bergembira ada turis nonbule, dan nonAsia Timur. Apalagi setelah saya menyebutkan saya dari Indonesia, saya terharu ketika dia bilang, “Welcome my friend! You're like us!”. Dia juga menanyakan, apakah masalah jika saat makan siang nanti saya dihidangkan daging babi. Tentu saya jawab, saya tidak makan babi. Sak mengerti, selain tidak menghidangkan babi, dia juga tidak pernah menawarkan saya bir. Excelent tourism knowledge!
Pas makan siang |
Perahu berjalan pelan melawan arus Sungai Mekong. Beberapa kali tumpangan saya harus bermanuver melewati jeram. Saya menyalahkan diri sendiri karena tidak membawa jaket. Saya kira kalau udah siang suhu Luang Prabang juga ikut naik, ternyata tetap dingin. Angin dingin cukup membuat saya mengigil karena anjungan perahunya terbuka. Ingat, kalau tidak bawa pasangan yang bisa menghangatkan dengan pelukan, sangat saya sarankan untuk memakai jaket gunung.
Setengah perjalanan, kami menepi di sebuah kampung bernama Xhanhai Village. Di kampung ini terdapat produksi minyak untuk obat dari saripati hewan-hewan yang berbisa seperti ular, dan kalajengking. Saya ditawari Sak untuk membeli, dan saya menolak. Selain duit pas-pasan, buat apa juga minyak ular? Campuran rendang? Di sini juga sentra produsen kain tenun khas Laos yang biasa dijual di night market Luang Prabang. Semakin masuk ke dalam kampung, ada kuil-kuil dan sekelompok bhiksu yang sedang beribadah.
Setengah perjalanan, kami menepi di sebuah kampung bernama Xhanhai Village. Di kampung ini terdapat produksi minyak untuk obat dari saripati hewan-hewan yang berbisa seperti ular, dan kalajengking. Saya ditawari Sak untuk membeli, dan saya menolak. Selain duit pas-pasan, buat apa juga minyak ular? Campuran rendang? Di sini juga sentra produsen kain tenun khas Laos yang biasa dijual di night market Luang Prabang. Semakin masuk ke dalam kampung, ada kuil-kuil dan sekelompok bhiksu yang sedang beribadah.
Penduduk Xanghai Village |
Perjalanan berlanjut. Pemandangan perkampungan di tepian berubah menjadi tebing-tebing kapur. Gua tujuan kami berada di sebuah delta tempat bertemunya Mekong dan Ngum. Ngum adalah sungai terbesar ke dua di Laos setelah Mekong.
Dari bawah, terlihat tangga menuju mulut gua yang terukir di sebuah bukit kapur. Dindingnya yang putih, dan atapnya beraksen kapur-kapur seperti stalaktit tajam membuat gua ini terlihat angker. Sak mengatakan bahwa dulunya Pak Ou Cave ini tempat para kaum pagan (penganut aliran animisme dan dinamisme) memuja dewa-dewi. Lalu setelah ajaran Budha masuk ke Laos, raja yang berkuasa saat itu mengganti semua patung sesembahan itu dengan patung Budha. Konon katanya berjumlah empat ribu, mulai dari ukuran terkecil hingga gigantis.
Dari bawah, terlihat tangga menuju mulut gua yang terukir di sebuah bukit kapur. Dindingnya yang putih, dan atapnya beraksen kapur-kapur seperti stalaktit tajam membuat gua ini terlihat angker. Sak mengatakan bahwa dulunya Pak Ou Cave ini tempat para kaum pagan (penganut aliran animisme dan dinamisme) memuja dewa-dewi. Lalu setelah ajaran Budha masuk ke Laos, raja yang berkuasa saat itu mengganti semua patung sesembahan itu dengan patung Budha. Konon katanya berjumlah empat ribu, mulai dari ukuran terkecil hingga gigantis.
Di pintu gua |
Pak Ou Cave terdiri dari dua tingkat. Lower cave, dan upper cave. Perlu stamina prima untuk sampai di gua bagian atas. Di pintu masuknya ada patung Budha seukuran manusia berwarna emas. Di dalamnya sangat lembab, dan berdebu. Yang punya alergi debu harus memiliki persiapan yang baik. Penerangannya juga minim, jadi berhati-hatilah supaya tidak tersandung salah satu patung.
Patung-patung di lower cave |
Upper cave yang lebih gelap |
Puncak jumlah pengunjung Pak Ou Cave adalah di Tahun Baru Laos yang biasanya jatuh pada April. Saat itu penduduk dari berbagai penjuru Laos akan datang ke gua ini untuk membersihkan patung-patung Budha di dalamnya.
Tur saya hari itu berakhir pukul dua siang. Sepanjang perjalanan pulang, saya habiskan dengan berbincang bersama Sak. Baru saya ketahui, harusnya tur ini hanya bisa diikuti kalau saya menggunakan travel agen dengan booking sehari sebelumnya. Tapi karena melihat saya yang kebingungan dan sendirian, Sak menjadi sedikit iba. Dia meyakinkan pemilik kapal bahwa tidak masalah mengangkut satu orang lagi. Ya Tuhan…
“It is better if more people telling to the world about this country. Thank you for your coming, my friend!” Katanya penuh dengan nilai mulia, dan ketulusan hati tak terperi.
Perpisahan kami diawali oleh jabat erat dan rangkulan ringan sebagai sahabat antarbangsa dengan kedekatan rumpun dan kesamaan nasib terjajah di masa lampau. Tulisan ini saya anggap ‘pelunas utang’ kepada Sak untuk mengabarkan pada dunia tentang negaranya, Laos.
Mendadak harga mahal tur ini rasanya sangat pantas. Bahkan jika yang didapat adalah orang baik seperti Sak, maka saya baru saja mendapat rejeki berupa paket tur yang sangat murah. =)
Tur saya hari itu berakhir pukul dua siang. Sepanjang perjalanan pulang, saya habiskan dengan berbincang bersama Sak. Baru saya ketahui, harusnya tur ini hanya bisa diikuti kalau saya menggunakan travel agen dengan booking sehari sebelumnya. Tapi karena melihat saya yang kebingungan dan sendirian, Sak menjadi sedikit iba. Dia meyakinkan pemilik kapal bahwa tidak masalah mengangkut satu orang lagi. Ya Tuhan…
“It is better if more people telling to the world about this country. Thank you for your coming, my friend!” Katanya penuh dengan nilai mulia, dan ketulusan hati tak terperi.
Perpisahan kami diawali oleh jabat erat dan rangkulan ringan sebagai sahabat antarbangsa dengan kedekatan rumpun dan kesamaan nasib terjajah di masa lampau. Tulisan ini saya anggap ‘pelunas utang’ kepada Sak untuk mengabarkan pada dunia tentang negaranya, Laos.
Mendadak harga mahal tur ini rasanya sangat pantas. Bahkan jika yang didapat adalah orang baik seperti Sak, maka saya baru saja mendapat rejeki berupa paket tur yang sangat murah. =)
Serunya jalan-jalan ke Laos. Itu perahunya bagus. Rasa makanannya gimana, mas? Saya penasaran. Motif kain tenunnya cantik ya. Saya baru tahu Laos punya khas tenun.
ReplyDelete(( Untung saya baca tulisan ini...ini ada limpahan nikmat hari ini, selain gak ketinggalan pesawat...wkkwk ))
ReplyDeleteMashaAllah,
Senang sekali. Travelling...menambah pengetahuan dan silaturhm.
Walah untung gak ketinggalan pesawat yaaa, masih jodoh. BTW guide-nya sabar dan informatif ya mas. Beruntung :D
ReplyDeleteYang paling buat nyaman ya guide yang pinter, dan sabar.
ReplyDeleteTapi Laos wow juga aku pikir negara yang tidak bagus
Hahhahaaaa...itu si tongsis untung ga kecebur ke sungai mas. Aku kalau foto di atas air itu agak ngeri-ngeri ngeluarin tongsis jauhan dari kapal, kalau kecebur bingung mau ngambilnya gimana hehe
ReplyDeleteSak baik banget ya mas, alhamdulillah perjalananmu ke ou cave berjalan lancar. beruntung sekali kalau disetiap perjalanan ketemu orang seperti Sak
ReplyDeleteSuck?. Wkwkwkwk epik banget. :D
ReplyDeleteEksplorasi hal baru emang sangat menyenangkan bang, Asia tenggara juga banyak destinasi seru koq, nanti lah ke wilayah lain itu. Wkwkkw
kedalaman gua tersebut kira kira berapa meter ya mas yos? kayanya bagus tuh disana buat objek pengetahuan. dan saya baru tau ada gua yang seperti itu banyak patung budhanya lagi luar biasa banget perjalanan ke ou cavenya juga
ReplyDeleteaduhh om bikin ngiler ceritanyaaa. pengen juga jalan2 kaya gitu
ReplyDeleteWah, saya jadi penasaran dg Ou Cave. Pengen melihat patung2 budha. Travelling solo begini bisa jadi belajar budaya dan kenal d3ngan turis lokal.
ReplyDeleteYa Tuhan... Satu orang buat "genep-genep" hihihi.
ReplyDeleteBaik banget ya si Sak, beruntung bisa bertemu dengannya, Kak. Orangnya baik, namanya juga gampang diingat apalagi kalau kita pas lewat proyek bangunan :)
Keren banget kak. Lanjutkan jelajah tempat yang jarang ditulis dan ditelusui. Aku malah ngga sampe kesini kemaren hehehe. Jadi kepengen ngulang lagi deh ke sono
ReplyDeleteAlhamdulillah banget gak ketinggalan pesawat ya 😊 gak kebayang kalau itu aku dan harus lari-lari sambil bawa bocah.
ReplyDeleteSalah satu kenikmatan solo traveling kita bisa bertemu dengan teman-teman yang murah hati menawarkan bantuan ya.
Seru banget perjalanannya! Banyak cerita, dijamin tak terlupakan seumur hidup. Haha! Sukaa...:)
ReplyDelete