Friday, 9 February 2018

Prosesi Tak Bat, Memberi dan Menerima di Balik Dinginnya Luang Prabang

Rasa frustasi saya selama 34 jam di bus berakhir ketika bus VIP yang saya tumpangi akhirnya berbelok ke kiri dan masuk ke sebuah tanah luas dengan beberapa gerbang pemberhentian. Akhirnya roda-roda bus bermuara di tujuan saya. Sebuah terminal kecil dengan penerangan seadanya itu seperti lelah menanti kedatangan saya yang dijadwalkan akan tiba 3 jam lalu, namun karena satu dan lain hal menjadi sedikit molor. Udara dingin tak terduga menyergap ketika saya keluar dari bus. Saya tidak pernah menyangka perjalanan tur Indochina saya akan sedingin ini. Selamat datang di Luang Prabang!

Saya menaiki sebuah tuktuk dan minta di antar ke sebuah alamat di Town Center, tempat terletaknya hostel yang akan saya singgahi selama tiga hari dua malam di kota utara Laos tersebut. Ongkos tuktuk dari terminal ke hostel 30.000 kip, padahal jaraknya dekat. Di sini saya menyadari bahwa Laos sebetulnya bukan negara murah. Kebanyakan orang beranggapan Laos adalah negara berkembang dengan perrtumbuhan ekonomi yang lambat, jadi mata uangnya lemah. Hei, anda salah saudara-saudara! Justru karena perekonomian Laos yang lambat, jadi hampir semua barang dan jasa diusahakan lewat impor dari luar negeri. Akibatnya walaupun kalau kita menukar USD dengan LAK (Laos Kip, mata uang Laos), dan mendapat bejibun LAK, tetap tidak ada artinya karena harga-harga mahal. Sederhananya begini, kita punya uang 100.000 kip, tapi harga sekali makan 35.000-45.000 kip, paling banter hanya cukup 2-3 kali makan sehari. Mahal atau tidak memang relatif, tapi bagi saya itu costly banget sih.

Saya memesan hostel tepat di jantung Luang Prabang. Dekat ke night market, dekat ke Sungai Mekong, tapi jauh ke hati kamu. Ealah. Setelah itu check in, mandi, lalu jalan-jalan sebentar menikmati malam di Luang Prabang. Saat itu malam natal, jadi Luang Prabang bersolek dengan banyak lampu-lampu kerlap-kerlip, ornamen berwarna merah hijau, hingga hiasan pohon cemara. Bangunan-bangunan antik khas pedesaan Prancis menjadi lebih semarak. Bendera-bendera kebangsaan Laos dan lambang palu arit, berbagi tempat dengan papan-papan bar serta coffee shop yang menginformasikan harga-harga promo natal di sepanjang jalur pedestrian.  Beberapa kali saya melewati restoran dan melihat banyak keluarga turis sedang bergembira dalam jamuan dinner Christmas Eve. Suasana yang khidmat dan penuh kedamaian mengingat di Luang Prabang mayoritasnya adalah Budha. Perayaan natal malam itu bersisian dengan kuil-kuil dan simbol Budha. Mungkin ini yang membuat UNESCO mau menetapkan Luang Prabang menjadi world heritage. Karena di sini agama, modernitas, dan keautentikan budaya tradisional bisa hidup secara berdampingan.

Sebelum tidur, saya set alarm di jam 4 pagi. Mau ke mana, Pak, pagi-pagi lagi liburan bangun ngalahin kuntilanak pulang kandang? Saya ingin menyaksikan prosesi Tak Bat yang termashur di Luang Prabang. Tak Bat adalah sebuah prosesi di mana masyarakat atau wisatawan berderma memberi makan kepada para bhiksu. Teknisnya bhiksu-bhiksu akan keluar dari kuil dan berjalan di jalan-jalan utama Luang Prabang dan menerima sedekah dari penderma yang menggelar tikar di pinggir jalan. Sebetulnya prosesi ini bukan hanya di Luang Prabang, di setiap daerah dengan Budha sebagai agama mayoritas pasti ada tradisi ini. 
Take and give
Jam lima pagi saya sudah berkeliaran di jalan utama Luang Prabang. Dinginnya mengingatkan saya dengan udara di dataran tinggi Dieng. Kalau mau berpartisipasi dalam prosesi Tak Bat ini bisa membeli sejumlah paket makanan seharga 10.000 kip untuk disedekahkan. Isinya makanan ringan seperti oreo, biskuit, dan mie instan. Nanti sama penjualnya dipinjami tikar untuk kita duduk dan bhiksu akan menghampiri kita.

Untuk yang hobi fotografi, datang sepagi mungkin sangat saya sarankan supaya dapat spot foto terbaik dengan pencahayaan yang cukup. Saya merekomendasikan di sebuah perempatan sebelum jalan night market, ada semacam bundaran dengan lampu jalan yang cukup terang. Oh iya, walaupun ritual ini terbuka untuk wisatawan, ada tata tertibnya juga, loh. Biar bagaimanapun ini adalah rangkaian keagamaan yang sakral. Peraturan utamanya adalah:
  • Berpakaian sopan. Jelas, ya, karena nanti kita akan berinteraksi dengan bhiksu.
  • Dilarang memakai flash jika ingin memotret. Makanya saya menyarankan untuk mencari spot. yang pencahayaannya cukup. Tapi ada saja, sih, turis yang bandel pakai flash. KZL!
  • Jangan terlalu dekat memotret. Dari jauh pun prosesi ini menarik untuk dipotret. Warna oranye dari jubah bhiksu bisa membentuk pola unik dalam frame lensa.
  •  Tidak usah minta foto selfie ke bhiksu. TIDAK SOPAN.
  • Berisik sangat tidak dianjurkan selama proses ini berlangsung.
  • Pakai jaket yang proper. Prosesi ini berlangsung dari jam 5 sampai jam 6 pagi. Jam segitu di Luang Prabang dinginnya bisa bikin cowok kekar macam Dwayne Jhonson atau Chris Hermsworth masuk angin.
Yang menarik adalah, selama prosesi ini berlangsung ada juga pengemis dan peminta-minta di pinggiran jalan. Bhiksu-bhiksu yang telah mendapat makanan menghampiri mereka dan memberikan uang atau makanan. Hati saya meghangat lalu meleleh. Dalam dingin Luang Prabang saya menyaksikan sebuah art of giving yang aduhai indahnya. Bhiksu itu seperti menginterpretasikan perbuatan Sang Budha yang menyanyat dagingnya sendiri untuk makanan burung elang kelaparan.

Saya jadi ingat kutipan penuh energi dalam film India berjudul Chef, “Kau tahu, punya kemampuan memberi makan orang lain adalah berkat besar dari Tuhan.”


Share:

5 comments:

  1. 34 jam di bus? wah, tapi terbayar ya Mas..bayangin Luang Prabang saja dari cerita (fotonya kurang :D ) jadi mupeng saya..
    Btw, itu tuktuk harga resmi apa tawar menawar macam bajaj ya?
    Hm..Laos dingin juga ternyata ya..sekelas Dwayne Jhonson aja bisa kedinginan apalagi kurus kayak saya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha...iya, Mbak fotonya kurang, karena sulit sekali mengatur kamera (dengan alat yang pas-pasan) dengan kondisi pencahayaan minim sedangkan momennya tidak bisa diulang. Foto di postingan ini saja ngeditnya udah ampun-ampunan , hehehe. Maapkeun.

      Untuk harga pada dasarnya tawar-menawar, tapi mereka seperti punya harga resmi yang tidak tertulis, sehingga mau menawar kayak apa juga tidak akan bisa lebih murah dari harga pada umumnya.

      Delete
  2. ceritanya menarik, pengalaman yang luar biasa

    ReplyDelete
  3. Serius, keluarnya jam 4 dini hari?
    Wow.

    ReplyDelete
  4. Saya pernah menjumpai prosesi serupa di Thailand. Saya pikir itu ngapain ya bhiksu di pinggir jalan. Haduh, ternyata o ternyata. Meski beda agama, seneng deh melihat ritual ini.

    ReplyDelete