Kalau boleh memilih, saya ingin menjadi seperti Robert Langdon. Seorang simbolog, tokoh rekaan Dan Brown dalam karya-karya novel best seller thriller-nya. Tokoh fiktif ini dicipta sedemikian rupa sehingga menjadi seseorang yang banyak tahu dibanding orang lain. Sebab dari semua itu, jika kita membaca di sebagian besar novel Dan Brown, adalah karena Professor Langdon sangat memahami bagaimana memahami sejarah dunia berjalan. Ingat, ya, memahami. Bukan sekadar mengetahui.
Memahami sejarah yang bukan hanya mengidentifikasi tempat, pelaku, dan waktu kejadian. Tetapi juga menjawab mengapa sebuah peristiwa terjadi dan terasa efeknya hingga kini. Tetapi, rasanya jauh jika saya ngotot ingin menyamai Professor Langdon yang tur sejarahnya sudah sampai Museum Lovre melihat Monalisa karya agung da Vinci, atau Basilika Vatikan untuk melihat dari dekat makam Santo Petrus. Saya, sih, bisa memiliki minat untuk mengunjungi salah satu museum di Jakarta saja sudah sangat bagus.
Soal museum di Indonesia, di Jakarta khususnya, memang cukup menggelisahkan saya. Ketika saya mengikuti tur museum bersama Jakarta Good Guide, pemandunya bilang bahwa Jakarta adalah kota dengan jumlah museum terbanyak di Asia Tenggara. Namun pengunjungnya belum berbanding lurus dengan fakta dan frasa ‘terbanyak’ tadi.
Memahami sejarah yang bukan hanya mengidentifikasi tempat, pelaku, dan waktu kejadian. Tetapi juga menjawab mengapa sebuah peristiwa terjadi dan terasa efeknya hingga kini. Tetapi, rasanya jauh jika saya ngotot ingin menyamai Professor Langdon yang tur sejarahnya sudah sampai Museum Lovre melihat Monalisa karya agung da Vinci, atau Basilika Vatikan untuk melihat dari dekat makam Santo Petrus. Saya, sih, bisa memiliki minat untuk mengunjungi salah satu museum di Jakarta saja sudah sangat bagus.
Soal museum di Indonesia, di Jakarta khususnya, memang cukup menggelisahkan saya. Ketika saya mengikuti tur museum bersama Jakarta Good Guide, pemandunya bilang bahwa Jakarta adalah kota dengan jumlah museum terbanyak di Asia Tenggara. Namun pengunjungnya belum berbanding lurus dengan fakta dan frasa ‘terbanyak’ tadi.
Pernyataan paling umum biasanya keluhan yang ditujukan kepada pemerintah tentang rendahnya perhatian mereka terhadap museum sehingga museum menjadi kurang menarik untuk dikunjungi. Baiklah, bagaimana kalau logika dibalik? Ya gimana pemerintah mau menjadikan museum sebagai prioritas program kerja mereka kalau warganya saja tidak pernah tertarik untuk ke museum? Hayo.
Padahal tur ke museum itu, ya, asyik. Enggak ribet. Pulang-pulang bawa pelajaran, dan insight baru. Murah? So pasti. Waktu ke Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jl. Imam Bonjol No.1, Menteng, Jakarta Pusat, tiket masuknya hanya 2.000 rupiah. Bayangkan, nominal segitu mau tingkat inflasi naik setinggi janji-janjinya pacar juga tetap saja murah. Sedihnya, walau sudah murah dan saya berkunjung pas hari libur, museum itu sepi pengunjung. Hanya ada kelompok kecil tur kami dengan anggota tiga belas orang dan seorang pemandu.
Dan saya jadi mengerti mengapa Robert Landon begitu cerdas akibat mengakrabi museum. Karena museum, walaupun terlihat bisu dan terkesan membosankan, ternyata memiliki trivia atau cerita selipan yang mungkin tidak pernah ada dalam buku teks pelajaran formal. Fakta-fakta unik yang memberi efek, “ooohhh…” pada peserta tur hari itu.
Di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, saya tercerahkan dengan beberapa cerita. Betapa sejarah, jika dipahami secara lebih dalam lagi, akan membuktikan dengan sendirinya bahwa tidak ada yang benar-benar hitam-putih. Baiklah, saya sudah menspot beberapa cerita dari pemandu kami yang baru saya dengar. Demikian penjabarannya:
Terbayang oleh saya suara penuh kharisma si Bung Besar yang sedang berpidato membakar semangat rakyat yang sangat dicintainya. Setelan jas yang khas, Kopyah hitam, dan tongkat komandonya kompak menyokongnya untuk berteriak, “Jas merah! Jangan Pernah Meninggalkan Sejarah!”
Mulai sekarang, rasanya porsi museum dalam agenda traveling saya harus ditambah. Ya siapa tau bisa seperti Robert Langdon. By the way, ada yang punya cerita unik yang luput dari sorotan sejarah juga? Atau referensi museum lain yang harus banget dikunjungi? Boleh loh dishare =)
Padahal tur ke museum itu, ya, asyik. Enggak ribet. Pulang-pulang bawa pelajaran, dan insight baru. Murah? So pasti. Waktu ke Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jl. Imam Bonjol No.1, Menteng, Jakarta Pusat, tiket masuknya hanya 2.000 rupiah. Bayangkan, nominal segitu mau tingkat inflasi naik setinggi janji-janjinya pacar juga tetap saja murah. Sedihnya, walau sudah murah dan saya berkunjung pas hari libur, museum itu sepi pengunjung. Hanya ada kelompok kecil tur kami dengan anggota tiga belas orang dan seorang pemandu.
Dan saya jadi mengerti mengapa Robert Landon begitu cerdas akibat mengakrabi museum. Karena museum, walaupun terlihat bisu dan terkesan membosankan, ternyata memiliki trivia atau cerita selipan yang mungkin tidak pernah ada dalam buku teks pelajaran formal. Fakta-fakta unik yang memberi efek, “ooohhh…” pada peserta tur hari itu.
Di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, saya tercerahkan dengan beberapa cerita. Betapa sejarah, jika dipahami secara lebih dalam lagi, akan membuktikan dengan sendirinya bahwa tidak ada yang benar-benar hitam-putih. Baiklah, saya sudah menspot beberapa cerita dari pemandu kami yang baru saya dengar. Demikian penjabarannya:
- Museum Perumusan Naskah Proklamasi dulunya adalah rumah Laksamada Maeda. Seorang penghubung Tentara Jepang di Asia Timur dengan Kekaisaran Jepang. Beliau salah satu dari sedikit perwira Jepang yang bersimpati dengan perjuangan Bangsa Indonesia. Trivianya adalah, rumah yang sekarang jadi museum itu adalah salah satu bangunan di Jakarta yang bentuk bangunannya masih autentik seperti dulu. Belum pernah mengalami perubahan.
- Suara Bung Karno membacakan naskah Proklamasi yang biasa kita dengarkan hari ini, atau minimal tiap upacara bendera, bukan lah suara beliau asli di tanggal 17 Agustus 1945. Karena pada hari proklamasi itu tidak ada yang mendokumentasikan lewat rekaman suara atau video. Rekaman suara Bung Karno baru dibuat tahun 1950 atas usul Jusuf Ronodipuro dari RRI. Bung Karno sempat menolak karena baginya Proklamasi hanya sekali, tidak bisa diulang, dan untuk selama-lamanya.
- Ini fakta favorit saya. Mesin tik yang digunakan Syuti Melik untuk mengetik naskah Proklamasi adalah milik Angkatan Darat Jerman yang dipinjam Laksamana Maeda karena mesin tik miliknya berhuruf kanji. Dalam Perang Dunia II, Jerman berada di bawah Nazi. Jadi, ada sedikit ‘campur tangan’ Nazi dalam proses kemerdekaan kita.
- Saya terkagum-kagum dengan kemapuan analisis berbahasa founding father negeri ini. Dalam menyusun tek Proklamasi, kata ‘Penyerahan’ dicoret dan diganti dengan ‘Pemindahan’ bukan tanpa alasan. Ini untuk menghindari agar Jepang tidak melanggar hukum internasional. Karena setelah dinyatakan kalah dari sekutu, kedudukan Jepang di Indonesia menjadi status quo. Jepang tidak boleh memutuskan apa pun termasuk menyerahkan kemerdekaan Indonesia. Jadi lah kata ‘Pemindahan’ yang dipilih, karena akan mengesankan kekuasaan yang beralih bukan karena penyerahan secara sengaja. Well, Ivan Lanin mah lewat! Poinnya adalah, Bung Karno, Bung Hatta, dan Mr. Achmad Soebardjo saat itu masih ‘sempet-sempetnya’ mikirin nasib Jepang.
- Ketika perumusan naskah Proklamasi, adalah bertepatan dengan bulan Ramadhan. Menu sahur yang disediakan oleh Maeda adalah nasi goreng. Walaupun ada sumber yang mengatakan sarden, dan roti.
- Setelah selesai merumuskan naskah Proklamasi, Bung Karno dan Bung Hatta pulang ke rumah masing-masing dengan berboncengan sepeda dari Menteng ke Cikini. Kisah bromance terbaik dalam konteks kenegaraan yang pernah dimiliki bangsa ini.
- Naskah Proklamasi tulisan tangan Bung Karno yang asli baru diserahkan ke arsip negara pada tahun 1995. Dari rentang waktu Proklamasi sampai diserahkannya naskah tersebut, disimpan oleh BM. Diah.
- Pengibar Bendera Pusaka pada saat Proklamasi, Latief Hendradiningrat dipilih secara spontan. Ibu Fatmawati tiba-tiba memberikan Sangsaka Merah Putih ke beliau karena beliau satu-satunya yang memakai seragam tentara saat itu.
Terbayang oleh saya suara penuh kharisma si Bung Besar yang sedang berpidato membakar semangat rakyat yang sangat dicintainya. Setelan jas yang khas, Kopyah hitam, dan tongkat komandonya kompak menyokongnya untuk berteriak, “Jas merah! Jangan Pernah Meninggalkan Sejarah!”
Mulai sekarang, rasanya porsi museum dalam agenda traveling saya harus ditambah. Ya siapa tau bisa seperti Robert Langdon. By the way, ada yang punya cerita unik yang luput dari sorotan sejarah juga? Atau referensi museum lain yang harus banget dikunjungi? Boleh loh dishare =)
Nice info, Gan. Terima kasih untuk share-nya.
ReplyDeleteMengomentari kalimat di: "By the way, ada yang punya cerita unik yang luput dari sorotan sejarah juga? Atau referensi museum lain yang harus banget dikunjungi? Boleh loh dishare =)", saya pun punya cerita. Begini ..., "Waktu itu, saya pernah berkeliling di Goa Belanda dan Jepang, Bandung. Bukan, bukan Goa Hiro, tempat wahyu pertama kali diturunkan kepada Nabi SAW dari Allah via Malaikat Jibril. Lalu ..., di dalam goa itu, saya berasa jadi peserta uji nyali, dan merasakan hiruk-pikuknya kehidupan di masa itu. Sebenarnya, pengalaman dan info tsb mau diulas di blog saya (tikarlina.com), tapi kok, rasanya malas ya~
Jadi, sebagai Penikmat Yos (duh, Tik!!!) ..., tolong kasih tips bagaimana cara mengatur malas yang baik, agar segala urusan di dunia dan akhirat ini berjalan lancar, tanpa harus menghilangkan malas itu sendiri, dong."
Terima kasih, Mas Iqbal (bukan CJR).
Best Regards,
@tikarlina.
Uwaaaaa keren bangeeet
ReplyDeleteBromance baaanget, dan aku baru tau kalo mereka se-sosweet itu
Boleh banget, mampir ke Museum Lumajang, banyak prasasti peninggalan jaman dulu
Kalo di Jember, ada museum tembakau dan museum huruf
Dulu, ketika bangku SMA sempat tidak suka akan pelajaran sejarah. Tapi belakangan ini jadi amat suka, dengan sejarah kita jadi lebih mengerti akan jerih payah pejuang kita dalam meraih kemerdekaan....Salam Merdeka om!
ReplyDelete