Monday, 30 April 2018

Shell Eco-Marathon 2018 Singapura, Bentuk Partisipasi Warga Dunia Untuk Energi Masa Depan

Energi. Sebuah sumber daya yang mutlak dibutuhkan untuk keberlangsungan kehidupan. Salah satu sumber energi terbesar yang digunakan manusia berasal dari minyak bumi. Manusia melakukan eksplorasi, dan eksplotasi tanpa henti sumber daya yang terbentuk dari fosil jutaan tahun silam ini untuk kemudian diolah menjadi berbagai macam produk, dan bahan bakar adalah komoditas yang paling mendominasi.

Masalahnya adalah sumber daya tersebut tidak dapat beregenerasi atau tidak bisa terbarukan. Sedangkan kuantitas sumber daya manusia tidak terbatas. Bahan bakar fosil terus menyusut, cadangan minyak mentah dalam perut bumi mau tidak mau berkurang seiring semakin besarnya upaya manusia membangun industri dan konsumsi.

Apa tandanya manusia harus segera menyudahi, atau setidaknya, membatasi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil ini? Indikator sederhananya bisa dilihat dari negara penghasil minyak terbesar di dunia, Arab Saudi. Negeri Petro Dollar ini sekarang mulai mencari pemasukan lain di luar migas untuk menjaga stabilitas perekonomian, misalnya dengan menggenjot sektor pariwisatanya. Mereka mulai membuka diri, mencoba fleksibel dengan budaya agar masyarakat dunia luar tertarik datang untuk tamasya. Contoh lain datang dari negara tetangga kita, Brunei Darussalam. Negara monarki yang tajir melintir karena minyaknya yang melimpah itu, kini sudah berpikir untuk memotong tunjangan warganya demi menyelamatkan ekonomi negara yang goyah karena cadangan minyaknya menipis. Dalam jangka panjang, jika ini terus terjadi, maka kedua negara tersebut akan mengurangi ekspor minyak mereka. Ekspor berkurang, maka peredaran minyak dunia akan menurun di tengah permintaan yang tetap tinggi. Akibatnya terjadi kenaikan harga, dan kita semua tahu apa multiply effect dari naiknya harga minyak dunia.

Memang harus ada ‘teriakan’ “do something!”. Arab Saudi, dan Brunei hanya dua contoh kecil bahwa ketergantungan manusia akan sumber daya hayati unrenewable ini merupakan masalah serius. Sinyal ini harus ditangkap betul oleh semua produsen, dan konsumen bahan bakar fosil.

Ada beberapa cara supaya manusia, setidaknya, tidak kehabisan energi tak terbarukan ini sebelum energi alternatif ditemukan.

1. Menghemat Penggunaan Bahan Bakar

Diversifikasi produk bahan bakar untuk penggunaan yang tepat bagi jenis kendaraan bisa dilakukan. Seperti yang dilakukan oleh Shell. Perusahaan energi sejak 1907 dan sekarang berkantor pusat di Belanda ini membuat beberapa varian bahan bakar agar sesuai dengan kendaraan yang kita gunakan agar efisien, dan berujung pada penghematan. Bisa dilihat dari 4 produknya:
  • Shell Regular
Ini jenis baru. Menggunakan teknologi Dynaflex supaya mesin tetap bersih karena jenis ini melindungi komponen utama seperti injektor dari penumpukan endapan yang bisa menghambat performa dan penggunaan bahan bakar yang sia-sia.
  •  Shell Super
Jenis paling dasar dari semua bahan bakar Shell untuk mesin nondiesel. 
  • Shell V-Power
Jenis ini memiliki molekul pengurang gesekan sehingga memperkecil energi yang terbuang akbiat panas.
  • Shell Diesel Bio
Ini untuk kendaraan bermesin diesel. Kita tahu bahwa kendaraan bermesin diesel biasanya lambat panas sehingga banyak energi terbuang. Tapi Shell Diesel Bio mengandung 20% bahan bakar nabati, seperti minyak kelapa sawit. Jadi penggunaan bahan bakar fosil dalam memproduksi jenis ini bisa ditekan.

Bahan bakar tersebut di atas sudah bisa dinikmati di Indonesia di 70 pom bensin yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, dan Sumatera Utara.

2. Melibatkan Masyarakat Dunia Untuk berpartisipasi Dalam Upaya Peghematan

Harus diakui, mencari sumber energi terbarukan ini selain sulit, biaya investasinya sangat mahal. Shell sebagai perusahaan energi yang memilikin tujuan strategis sebagai provider bahan bakar yang bersih, nyaman, dan kompetitif sangat memahami ini. Shell melibatkan warga masyarakat dunia untuk bersama-sama mencari solusi atas ketergantungan manusia kepada bahan bakar fosil.
Bentuk nyatanya berupa event Shell Eco-Marathon. Yaitu ajang kompetisi antarmahasiswa di seluruh dunia untuk memberikan ide dalam mendesain dan mengembangkan mobil-mobil sangat hemat energi. Untuk kawasan Asia, di mana Indonesia berpartisipasi di dalamnya, diadakan pada tanggal 8-11 Maret 2018, di Changi Exhibition Centre, Singapura. Seperti apa mobil hemat energi yang diharapkan? Gambarannya ada pada Shell Eco-Marathon 2017, di mana pemenang regional Asia mobil desainnya mampu menempuh jarak 2.289km dari Singapura ke Chiang Mai di utara Thailand hanya dengan 1 liter bahan bakar! Kalau di Indonesia, itu berarti hampir setara Jakarta-Surabaya pulang-pergi.

Denah venue Shell Eco-Marathon Singapore 2018

Event bertema Make The Future yang kelak akan memunculkan Tony Stark-Tony Stark baru, tokoh penemu teknologi jenius fiktif di cerita superhero, ini memiliki tiga ketegori:
  •  Kategori Penghargaan  On-Track

    Peraturan utama kategori ini adalah, desain mobil yang mampu menempuh jarak terjauh dengan konsumsi bahan bakar semiminimal mungkin sebagai syarat utama untuk juara. Kategori ini dibagi lagi menjadi dua subkategori:  Yaitu prototype dan urban concept. Dua kategori itu memiliki kelas-kelas tersendiri.

     PROTOTYPE
    - Internal Combustion Award: Kategori ini melombakan desain mobil yang mampu menempuh jarak paling jauh dengan kuantitas bahan bakar paling sedikit. Shell Eco-Marathon Asia menobatkan Panjavidhya Technological College (Thailand) sebagai pemenang, dengan pencapaian 2.341,1km/liter. Dan berarti itu memecahkan rekor tahun lalu.

     - Battery Electric Award: Peraturannya sama, namun bahan bakar pada penghargaan ini adalah penggunaan tenaga listrik sebagai sumber energi

    - Hydrogen Fuel Cell Award: Bahan bakar pada subkategori ini adalah hidrogen yang ramah lingkungan.

    Berikut adalah hasil lengkap dari masing-masing subkategori:




          URBAN CONCEPT
Urban concept pada dasarnya adalah sebuah cetak biru mobil yang akan diproduksi seacra masal di masa depan dan dapat dikendarai diperkotaan. Berbeda dengan prototype yang memang hanya diciptakan satu atau terbatas. Nah, di sini Indonesia patut berbangga karena ada beberapa wakil yang juara. Penilaian kelasnya pun sama:
- Internal Combustion Award
- Battery Electric Award
- Hydrogen Fuel Award
Dan hasilnya adalah sebagai berikut:



  •   Kategori Penghargaan Off-Track

Kategori ini menilai segala sesuatu di luar teknis penggunaan bahan bakar. Seperti desain, teknis, unsur keselamatan (safety), dan komunikasi. Dengan kata lain, peserta dituntut untuk kreatif dalam menyusun fitur sebuah mobil. Dan yang membuat bangga tentu saja karena pemenang untuk kategori safety desain urban concept car bersasal dari Indonesia, GARUDA UNY ECO TEAM dari Universitas Negeri Yogyakarta. Point kemenangan tim dari UNY ini utamanya adalah karena mereka menguji kreasi mereka dengan tekanan pompa hidrolik terhadap desain mobilnya. Tim ini juga menggunakan pendekatan integral, yang mana keamanan terjamin bukan hanya untuk driver, melainkan untuk lingkungan di sekitarnya. Di tambah lagi kerja sama tim yang solid menjadi nilai tambah dalam menentukan keputusan dewan juri.

Tim Garuda UNY

  •  Drivers’ World Championship

Ini adalah bagian dari kompetisi yang paling seru. Karena bagian event Make The Future ini memilih pengemudi paling jago dalam mengemudi kendaraan dengan amat sangat efisien dalam hal konsumsi energi, namun tetap mengedepankan kecepatan. Di sini keandalan para peserta diuji, karena biasanya kecepatan kendaraan dan konsumsi bahan bakar berbanding terbalik.

Arena pacu peserta Drivers' World Championship

 Indonesia mengirim lima tim dari universitas terbaiknya di Drivers’ World Championship regional Asia ini. Kabar membanggakan bagi Indonesia kembali berhembus dari ajang ini, di mana peringkat 1-5 didominasi oleh pengemudi yang membawa misi mengibarkan Sang Merah Putih. Podium tertinggi diaraih oleh Tim Semar Urban UGM, dengan mobilnya Semar Urban 3.0 bersama sosok di balik kemudi, yaitu Tito Setyadi Wiguna dengan catatan 9 putaran dan menyisakan 0.9% bahan bakar. Sebuah prestasi luar biasa mengingat pebalap kaliber Lewis Hamilton saja belum tentu bisa.

Juara!
Di sela-sela kunjungannya ke paddock tim Indonesia, presiden direktur PT. Shell Indonesia, Darwin Setiadi, memuji pencapaian garuda-garuda muda ini. "Bukti nyata dan inspiratif bahwa anak-anak muda Indonesia memiliki talenta dan kemampuan yang sangat kompetitif tidak hanya di regional, tetapi juga di tingkat global.” Katanya.
Tim Semar Urban UGM berhak mewakili regional Asia untuk kembali bertanding di ajang World Drivers’ Championship tingkat global. Di mana pemenangnya akan mengunjungi markas tim F1 Scuderia Ferrari! Pengalaman sekali seumur hidup karena tidak semua orang punya kesempatan masuk langsung ke ‘dapur’ tim legendaris ajang balap jet darat yang pernah dibela Michael Schumacer dan Fernando Alonso itu.


Selain menjanjikan ketatnya kompetisi, hajatan Shell Eco-Marathon ini juga tidak melupakan sisi hiburan penuh pencerahan untuk menambah semarak acara. 15.000 pengunjung mendapatkan pemahaman tentang berbagai tantangan dan permasalahan energi global dalam sesi Energy Theatre. Terobosan tahun ini ditandai dengan adanya modul lantai dansa kinetik bagi pengunjung yang ingin merayakan event ini dengan menari. Tidak kalah penting, ada juga demonstrasi dari beberapa rekanan Shell yang menawarkan energi alternatif di luar bahan bakar fosil. Misalnya bagaimana caranya biji-biji kopi selain sebagai bahan baku untuk membuat minuman yang nikmat, juga bisa sebagai penghasil energi pengganti bahan bakar fosil.  Atau sebuah tekhnik bernama Liter of Light, yang mampu menghasilkan energi bagi kota dan desa di Filipina hanya dengan panel surya dan sebotol air. Dan ada juga forum diskusi terdiri dari 150 pemimpin delegasi membahas berbagai tantangan energi masa depan dalam Shell Powering Progress Edition Asia edisi kelima.

Kita tentu berharap ajang Shell Eco-Marathon ini bisa mengonsolidasikan semua pemangku kepentingan di bidang energi mulai dari produsen, perusahaan, hingga masyarakat sebagai end user supaya menyadari bahwa energi bahan bakar harus dihemat semaksimal mungkin. Bukan saja demi bisnis dan ekonomi, tapi juga bagi bumi tempat kita tinggal. Sebuah persembahan dari Shell yang berdampak global demi tercapainya energi masa depan.

Khususnya di kawasan Asia, karena kawasan ini tempat bernaung dari 60% persen populasi dunia. Sebuah angka yang besar baik dari sisi komersial, maupun efek dari efisiensi bahan bakar. Setiap tahun di ajang ini 120 mahasiswa terbaik dari Asia Pasifik dan Timur Tengah bertanding merancang mobil futuristik dan berkompetisi untuh gelar paling hemat energi.

Pengurangan konsumsi bahan bakar fosil memang sudah seharusnya dikurangi secara massif mulai dari sekarang.Gelaran Shell Eco-Marathon membuat mimpi dunia menjadi lebih baik dengan ketercukupan energi semakin mendekati kenyataan. Jangan sampai bahan bakar yang kita pakai sekarang habis sebelum waktunya. Shell bersama warga dunia memastikan itu.






Share:

Friday, 20 April 2018

Lebih Produktif Dengan Angkutan Umum

Untuk sebagian orang Jakarta, masalah hidup sudah dimulai ketika membuka mata di pagi hari setelah mimpi indah. Tidak bisa mereka bersantai sejenak, sarapan di meja makan bersama keluarga, baca Koran pagi, atau mencium anak-anak yang akan berangkat sekolah. Karena mereka harus segera bergerak sebelum matahari terbit, berlomba dengan satu momok menakutkan bernama macet.

Yang berdomisili di kota penyanggah ibu kota namun bekerja di Jakarta lebih parah lagi. Masalah sudah menghantui bahkan sejak mereka hendak pergi tidur, belum mimpi sudah harus berpikir jalur mana kira-kira yang akan ditempuh demi menghindari kemacetan besok. Akibatnya kualitas tidur seadanya dan kinerja yang menurun di tempat kerja.

Macet memang sudah menjadi masalah mengakar di Jakarta. Sebuah dampak wajar dari sebuah kota berpredikat pusat perekonomian, dan pemerintahan. Di kota-kota besar dunia dengan sentralisasi ekonomi dan pemerintahan di satu kota, pasti merasakan hal serupa. Yang berbeda adalah tingkat, durasi, dan kebijakan pencegahannya.

Kuala Lumpur memiliki bus Go KL yang gratis agar warganya mudah dan tertarik menggunakan angkutan umum. Singapura memanjakan penduduknya dengan transportasi canggih, nyaman, terintegrasi dan sistem satu kartu untuk pembayarannya. Negara-negara Eropa begitu rapih dengan kereta bawah tanahnya yang bahkan bisa lintas negara. Dan yang familiar di Bogota, Kolombia misalnya, menerapkan sistem transportasi bus dengan jalur khusus dan rute menggurita. Dan lalu sistem ini diadopsi oleh Pemerintah DKI Jakarta di era Gubernur Sutiyoso bernama Transjakarta. 
Di Solo, bus umum bisa dijadikan intrumen Pariwisata

Bus antarnegara Kamboja-Laos
Waktu pertama diluncurkan, saya optimis Transjakarta ini mampu memecahkan masalah kemacetan di ibu kota. Namun, seiring dinamika Jakarta, ternyata masalahnya bukan hanya di internal Jakarta saja. Daerah penyangga Jakarta juga ikut punya andil dalam menjadikan kemacetan sebagai hantu bagi tiap stake holder transportasi. Perlahan pamor Transjakarta sebagai solusi kemacetan redup.

Saya menghadiri diskusi bersama BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek) dan jajarannya, Senin, 16 April 2018, tentang sebuah premis mengapa kita harus beralih ke angkutan umum. Kepala BPTJ, Pak Bambang Prihartono, menyadari belum optimalnya peran Transjakarta. Ada 48 juta pergerakan perpindahan moda transportasi setiap hari di Jabodetabek. Sebagian besar menuju Jakarta pada pagi hari, dan keluar Jakarta sore harinya.

Untuk menyiasatinya, BPTJ sang pemegang peran dalam ketertiban bertranpostasi di Jabodetabek membuat beberapa kebijakan. Yaitu penerapan sistem ganjil-genap di tol yang sekiranya memiliki beban terbesar volume kendaraan yang melintas. Yang sudah diterapkan adalah di tol Cikampek-Jakarta, di mana kendaraan berplat ganjil atau genap sesuai tanggal sudah harus diseleksi di gerbang tol Bekasi Barat dan Bekasi Timur pada jam 06.00-09.00.

Kebijakan ini diambil selain untuk mengurangi beban banyaknya volume kendaraan, juga untuk mengubah pola pergerakan masyarakat yang tadinya pergi kerja dengan kendaraan pribadi, beralih ke angkutan umum. Karena itu BPTJ membuka layanan Transjabodetabek Premium lengkap dengan fasilitas park and ride di mall-mall yang dekat dengan gerbang tol terimbas ganjil-genap.

Di sini akan terjawab mengapa kita harus beralih ke angkutan umum. Karena dengan beralih ke angkutan umum, produktifitas jelas meningkat. Khususnya untuk para pekerja, karena imbas dari macet ini sebagian besar berdampak pada pekerja produktif di Jakbodetabek. Ada beberapa alasan kenapa produktifitas bisa meningkat, misalnya:

1. Lebih Hemat
Dengan adanya Transjabodetabek Premium, pennguna mobil pribadi mengeluarkan ongkos PP Rp. 20.000 (sekali jalan Rp. 10.000) dan parkir seharian di tempat yang telah ditunjuk seharga Rp. 10.000. Satu hari Rp. 30.000. Bayangkan jika dengan mobil pribadi, bisa lebih. Bensin, tol, dan parkir per jam di tempat tujuan jika ditotal biayanya bisa lebih dari Rp. 50.000. Coba dikalikan dengan hari kerja dalam sebulan, sebuah angka penghematan yang tidak sedikit. Lebih hemat berarti menambah daya ekonomis , dan saving.

2. Kinerja Lebih Baik
Ketika naik angkutan umum, berarti kita hanya tinggal membayar dan menunggu hingga sampai tujuan. Apalagi di Transjabodetabek Premiun dengan fasilitas wifi, bisa sekalian browsing dan update berita terbaru. Sampai kantor pikiran masih fresh, badan masih bugar karena tidak harus stress memikirkan jalur macet, atau betis yang pegal karena bekerja keras menahan pedal kopling atau rem. Otak yang segar, dan fisik yang bugar membuat kinerja jauh lebih maksimal saat bekerja.

3. Ketepatan Waktu
Transjabodetabek dan Tranjakarta terus berbenah. Baik dari sisi penambahan armada atau revitalisasi halte. Ketika koridor 13 Transjakarta jurusan Ciledug-Blok M, saya sampai pindah tempat kos ke Ciledug dari Kalideres. Karena melelahkan sekali bermotor dari Kalideres ke Mampang, kantor saya berada. Koridor 13 ini merupakan jalur layang yang sudah terjamin steril dari kendaraan selain Transjakarta, jadi bebas macet. Transjabodetabek Premium pun di saat jam ganjil-genap mempunyai jalur khusus. Kombinasi cukupnya armada dan bebas hambatan membuat ketepatan waktu sampai ditempat tujuan jadi lebih pasti. Semakin sedikit waktu terbuang dan para atasan akan jarang mendengar alasan bawahan yang datang terlambat karena macet.

Memang masih banyak kekurangan yang tidak bisa diabaikan BPTJ supaya populasi 60% pengguna kendaraan pribadi bisa ditekan ke angka seminimal mungkin. Misalnya perlunya revitalisasi atau penambahan fasilitas di halte-halte Transjakarta. Taruhlah saya mengeluh, tapi halte Transjakarta di Ciledug, Puri Beta, sangat tidak proper. Haltenya kecil, padahal peminatnya banyak. Jalur antrean penumpang ke Blok M dan ke UKI jadi satu, sehingga desak-desakkan tak terhindarkan. Terkadang bus ke Blok M sudah tersedia, tapi yang ada di antrean depan adalah penumpang yang ke UKI. Penumpang Blok M-nya masih jauh di belakang.

Yang kedua adalah masalah parkir bagi pengendara motor. Para pengelola parkir, khususnya yang dikelola swasta, menerapkan tarif yang cenderung semena-mena. Di tempat saya misalnya, tarif parkir tadinya Rp.5.000 per hari bagi motor. Lalu naik jadi Rp. 8.000 per hari. Mari hitung-hitungan, ongkos Transjakarta untuk round trip adalah Rp. 7.000, lalu parkir Rp. 8.000, jadi sehari kami harus keluar uang Rp. 15.000. Jika naik motor, Rp. 15.000 bisa untuk dua hari. Ya untuk apa naik kendaraan umum kalo naik motor sendiri masih lebih murah. Tapi bukan kah waktu tempuh jadi lebih cepat? Begini, pengendara motor sebagian besar adalah kelas menengah, di mana margin biaya sekecil apa pun tetap yang utama. Jika pengguna motor tidak mau beralih ke angkutan umum, maka motor akan tetap banyak di jalan non-tol di Jakarta. Kita tahu bersama banyaknya motor juga jadi penyebab kemacetan.

Demikian alasan, pemikiran, dan saran saya soal mengapa kita harus beralih ke angkutan umum. Perubahan perilaku bertransportasi bisa mengubah tatanan sosial, dengan beralih ke angkutan umum saya bisa pastikan produktifitas yang meningkat.
Share:

Wednesday, 11 April 2018

Khmer Noodle, Kuliner Halal di Tepi Sungai Mekong

Kuliner adalah bagian penting dari traveling. Bukan hanya karena ketika kita menginjungi suatu tempat kita harus mencoba makanan khas daerah itu. Tetapi, ya karena memang kita butuh kegiatan kuliner. Kebutuhan traveling juga sama seperti hidup, ada sandang, pangan, dan papan. Kuliner tentu saja masuk dalam kategori pangan. Dan namanya juga pangan, selama manusia masih bermulut dan berperut pasti butuh.

Semakin traveling menjadi hobi yang menjamur sekarang ini, semakin banyak pula tempat-tempat baru terekplorasi. Ragam makanan pun jadi semakin banyak terekspos. Ternyata semakin banyak pilihan kuliner tidak lantas membuat permasalahan para traveler selesai begitu saja. Mereka, saya khususnya, masih harus dihadapkan pada pilihan halal atau nonhalal. Saya yang selalu traveling dengan budget superminim, memang tidak pernah pilih-pilih makanan kalau soal rasa. Selama masih murah, ya sikat! Yang penting kenyang. Tapi kalau soal kehalalan, saya sangat aware. Bagi saya traveling juga merupakan proses pembersihan hati, dan pikiran. Jadi makanan, atau minuman yang saya konsumsi wajib halal.

Waktu kedinginan di Luang Prabang, ada teman yang mengirim pesan “Cobain Lao Beer, enak, dan murah”. Tergoda, sih. But again, saya masih berprinsip masih banyak cara menghangatkan badan. Toh udara Luang Prabang cuma sedikit lebih dingin dari Lembang.

Dan banyak pula yangbertanya, ketika saya di Kamboja, sulit kah mencari makanan halal. Sulit, itu jawaban saya. Butuh effort besar untuk mencari makanan halal. Lihat faktor-faktor berikut:

- Kamboja yang bukan negara mayoritas muslim

- Saya yang traveling dengan budget superminim

Variabel tersebut cukup membuat saya kesulitan. Makanan halal bukannya tidak ada. Ada. Di Siem Reap misalnya, kebanyakan makanan halal itu makanan India dengan konsep restoran. Jelas tidak masuk buat saya yang jatah makan saya alokasikan hanya 3 USD per sekali makan. Percaya atau tidak, di Siem Reap saya makan kebab turki tiga kali dalam sehari. Harganya pas, seporsi 3 USD dengan ukuran sama seperti kebab di Indonesia serta kehalalan terjamin. Kamboja negara murah? Think again, satu porsi kebab franchise saja kalau dirupiahkan 45.000. Di Indonesia, jual kebab dengan harga yang sama, yang jual bisa berangkatkan umroh tetangga dalam satu-dua tahun.

Pindah ke ibu kota, Pnom Penh, cerita berbeda lagi. Di Siem Reap saya menginap di dekat Pub Street, kawasan surga bagi turis yang berkunjung ke Kamboja. Di Pnom Penh, hostel saya berada di tengah pasar tradisional dekat pinggiran Sungai Mekong. Literally ‘di tengah’. Enaknya, banyak kedai kopi murah. Tidak enaknya ramai sekali, namanya di pasar. Banyak sopir tuktuk ngetem, mobil boks yang bongkar muat, di tambah sedikit bau daging karena dekat dengan tukang daging potong. Walau sudah di tengah pasar, makanan halal di sini masih sulit dijumpai.

Ada kejadian lumayan lucu. Jadi saya keluar hostel untuk cari makan siang. Waktu itu sudah menjelang sore, jadi kegiatan pasar sudah sepi dan berganti dengan para penjual jajanan malam. Ada gerai kebab lagi, persis seperti yang saya jumpai di Siem Reap. Aha, makan kebab lagi saja dulu, nanti malam baru cari yang lain. Begitu pikir saya.

Harganya 5 USD. Lebih mahal. Ah, mungkin karena ini ibu kota. Biarpun kalau dipikir-pikir lucu juga sebuah merek franchise tapi harganya berbeda. Penjualnya seorang ibu orang Kamboja asli, waktu di Siem Reap penjualnya bertampang Arab. Saya pesan satu porsi. Tanpa bertanya, si ibu memotong-motong daging dan membakar kulit kebabnya. Wangi danging terbakar begitu menantang lidah dan perut saya. Dan lalu saya teringat sesuatu, waktu di Siem Reap, penjual kebab bertampang Arab menanyakan saya mau kebab ayam atau kambing. Lah, ini kok tidak ditanya. Akhirnya saya inisiatif yang tanya,

“Sorry, it is chicken or goat?”

Si ibu bingung. Mungkin tidak bisa bahasa Inggris, namun dia mengerti apa yang saya tanya. Bertanyalah dia ke suaminya yang jaga kios rokok di sebelahnya. Mereka diskusi lumayan lama. Hingga akhirnya si suami yang datang dan berkata,

“It is pig.”

“Oh, I’m sorry, I don’t eat pig.”

“No problem.” Katanya sambil tersenyum, dan mencegah saya mengeluarkan uang dari dompet padahal kebabnya sudah hampir siap hidang. Penjual yang jujur, dan murah hati. Rejeki bagi saya, dan semoga hingga kini beliau dianugerahi berkah melimpah. Amin.

Saya berjalan ke arah pinggir sungai. Cukup menyenangkan juga berjalan di tepi Mekong di tengah Pnom Penh ini. Trotoar dan pedestriannya besar berpelur keramik, tersedia kursi panjang tiap beberapa meter, dan pepohonan palem membuat hijau jalur tersebut. Menjelang sore kawasan ini ramai baik oleh wisatawan asing, atau warga lokal. Kalau berjalan terus menyusuri pedestrian tersebut ke arah selatan, maka akan sampai di belakang Istana Raja Kamboja. Di sisi Sungai Mekongnya banyak bendera-bendera dari seluruh bangsa di dunia, termasuk Indonesia.

Di belakang Royal Palace ini ada sebuah taman sebagai pusat keramaian dan dimeriahkan oleh banyaknya populasi burung merpati. Mirip-mirip plaza-plaza di Eropa. Karena ramai pengunjung, maka pedagang pun banyak, termasuk makanan. Ada satu kuliner yang menarik perhatian saya.

Bentuknya mie, namun bukan jenis pad seperti yang biasa dijual di negara-negara Indochina. Penasaran, saya bertanya,

“What is it name?”

“Khmer Noodle.” Jawab pedanganya, seorang remaja perempuan.

“No pig?”

“No sir, just vegatable.”

“Great! How much?”

“One dollar.” 

Khmer Noodle, ini nih penampakannya

Deal. Seporsi Khmer Noodle ada di tangan saya. Porsi mienya jumbo dan murah hanya satu dollar, cocok untuk saya turis doyan makan tapi miskin. Komposisi utamanya tentu saja mie. Mienya bukan seperti mie kuning dari tepung atau terigu, tapi mie dari beras. Gampangnya, seperti mie pada laksa betawi yang dulu biasa dijual di Stasiun Benteng. Kuahnya tidak panas, tapi adem berwarna kuning. Aroma khas rempah ketika menyesap kuahnya begitu kuat, rasa ketumbar mendominasi dan cita rasa kunyit tipis-tipis. Topingnya berupa sayuran mentah, kacang panjang, daun kemangi, kol, kacang tanah, dan serundeng kelapa yang membuat kesatuan mie akan mengental jika diaduk. Efek kenyangnya pun lama, saya sampai tengah malam belum merasakan lapar.

Saya menikmati Khmer Noodle di pinggiran Sungai Mekong sambil menikmati matahari terbenam di balik Royal Palace ditemani ribuan burung merpati yang katanya tidak pernah ingkar janji. Puji Tuhan, selalu ada jalan buat saya untuk selalu makan yang halal. =)
Share:

Monday, 2 April 2018

Menyaksikan Cinta dan Passion Bertemu di Tebing Breksi

Traveling itu bisa sambil menyelam minum air. Saya beberapa kali melakukannya. Yaitu jalan-jalan sambil kondangan. Terhitung sudah tiga kali saya kondangan ke daerah Jawa Tengah lalu diikuti oleh kegiatan traveling. Dua yang pertama saya ke Semarang, dan Solo. Yang ketiga, yang akan saya ceritakan berikut, adalah yang paling berkesan. Ke tanah istimewa Yogyakarta. Selain Kota Yogya dengan kelegendarisannya, cerita saya ini juga melibatkan Tebing Breksi.

Namun, jauh sebelum saya menerima undangan pernikahan di Yogya tersebut, saya lebih dahulu mengenal Renky. Seorang sahabat yang saya kenal pertama kali di SMA. Anaknya sangat biasa. Baik dari segi fisik maupun prestasi Renky ini tidak ada yang istimewa. Tetapi ada yang membedakan dia dengan teman-teman sebaya saya yang lain. Teman berhidung bangir saya itu sudah tahu apa yang diinginkannya di masa depan. Minatnya ada fotografi, seni, traveling, dan design grafis sudah tertanam sejak SMA di mana sebagian besar anak seumuran kami masih bingung lulus SMA mau lanjut ke mana. Akhirnya kita lulus, bertahun- tahun menjalani kehidupan masing-masing, lalu di satu waktu bertukar kabar dan saya ketahui dia telah menjadi editor untuk sebuah katalog produk fashion. Keren, kan? Apa yang dicita-citakannya kini dia jalani sebagai hidupnya.

Hingga suatu hari di akhir jam kerja, Renky ke kantor saya. Mengabarkan bahwa dia akan menikah, lalu memberi saya sepucuk undangan. Again, memang dasar anaknya seni dan traveling banget, konsep undangannya saja bikin saya nyengir. Dicetak pada lembaran kertas luks dengan cover hijau, bergambar Garuda versi sendiri, lalu di dalamnya ada informasi mengenai venue resepsi, undangan itu adalah paspor yang diimitasikan. Lucu. Saya melihat adanya gabungan antara passion design, dan traveling di sana. 
Cover undangan



Bebas visa ke Zimbabwe-Wakanda

Tempat resepsinya yang di Tebing Breksi, mengharuskan saya untuk ke Yogyakarta. Ah, dasar Renky, dia bahkan membuat tamu undangannya bisa sekalian berlibur. Bersama dengan dua kawan saya yang lain, berangkatlah saya ke Yogya.

Di Yogya, dari penginapan saya di dekat Malioboro, saya harus menyewa sepeda motor untuk menuju Tebing Breksi. Ke arah Sleman. Seperti umumnya penginapan di Yogya, tempat bermalam saya pun menyediakan jasa sewa sepeda motor. Untuk review singkat penginapannya bisa dicek di kanal Youtube saya.

Gerimis menemani perjalanan saya dari pusat kota ke Tebing Breksi. Bermodalkan GPS dan keramahan orang Yogya yang saya tanya, tidak sulit menemukan jalur ke sana. Memasuki arah Piyungan, saya harus meningkatkan level kewaspadaan pada tingkat maksimal karena jalan yang menanjak dan licin. Saya yang belum pernah ke Tebing Breksi dalam hati ‘mengutuk’ kegilaan Renky yang bisa-bisanya kepikiran pilih venue nikah di tempat dengan lokasi edan seperti ini. Orang-orang ke Tebing Breksi buat jalan-jalan, atau foto-foto. Lah saya malah buat kondangan. Gokil!

Sampai di Tebing Breksi cuaca masih gerimis. Lokasi resepsinya tepat di depan tebing tinggi berwarna krem. Full outdoor. Pelaminannya digelar secara sederhana di hadapan deret kursi-kursi berformasi setengah lingkaran bak amfiteater. Tamu-tamu yang datang nantinya akan duduk di kursi tersebut sambil menikmati hidangan dan titik fokus berada pada pelaminan. Jadi seolah-olah mereka sedang menonton pertunjukkan teater. 
Sehabis melahap mie jawa dua piring
Beruntung gerimis reda, dan acara yang sempat tertunda bisa dimulai. Saya tidak mengenal mempelai wanita yang kini sudah menjadi istrinya Renky. Tapi dalam susunan acara, MC menceritakan singkat kisah mereka. Jadi intinya mereka ini sama-sama suka adventure dan traveling. Penggemar fotografi dan digital imaging juga, bisa dilihat dari display foto-foto prewedding mereka yang berkonsep travel, dan alam dengan sentuhan editing berkelas.

Saya makan mie goreng jawa di salah satu sudut deret kursi amfiteater. Teringat kembali lebih dari setahun lalu saya dan Renky kondangan bareng ke Semarang. Sekarang saya yang menempuh Jakarta-Yogyakarta dan kondangan ke dia. Waktu cepat berlalu.

Melihat tamu-tamu yang juga sangat menikmati acara resepsi yang khidmat itu, saya jadi iri setengah mati. Renky bekerja dalam bidang yang sangat dia cintai, lalu menemukan jodoh dengan passion sama dengannya, kemudian melangsungkan pernikahan dengan konsep yang mereka berdua sangat gemari. Rasanya tidak ada hidup sesempurna itu. Sahabat saya itu tidak perlu repot keluar zona nyaman untuk mendapatkan semuanya. Saya ikut senang. 
Timbul pertanyaan, "kapan giliranku?"
Dalam perjalanan pulang Yogyakarta-Jakarta, di dalam kereta Gajah Wong, saya bertanya-tanya. Doa seperti apa yang dirapalkan, sujud selama apa yang dilakukan, dan amalan dicintai Tuhan yang bagaimana telah dilakukan Renky? Sehingga bisa mempersatukan antara passion, dan cinta di Tebing Breksi. Asik.
Share: