Friday, 29 June 2018

Wisata Masjid di Jakarta: Kisah, Sejarah, dan Ziarah

Batavia sedang dilanda isu. Pasar-pasar, dan pusat kegiatan perniagaan yang biasanya ramai oleh orang Tionghoa tidak sesemarak seperti biasa. Ketimbang berdagang, mereka lebih sibuk menajamkan telinga dan meninggikan waspada. Tidak ada yang berani memastikan, apakah benar kabar burung yang selama ini beredar bahwa Belanda sedang membangun benteng di Sri Lanka dan membawa orang-orang Tionghoa dari Batavia sebagai tenaga kerjanya secara paksa.

Mereka teringat kembali bagaimana dulu Belanda kekurangan tenaga kerja di Hindia Belanda, sehingga mereka membujuk orang-orang Tionghoa untuk bekerja bagi mereka. Mereka terbujuk. Dan ternyata Batavia adalah tempat yang cocok untuk mereka berusaha dan berdagang. Dan ketika mereka sudah memboyong keluarga, dan memiliki keturunan di Batavia, Belanda ingin mengirim mereka ke Sri Lanka sebagai budak? Tidak masuk akal!

Ketika firasat tertuang menjadi keresahan, dan keresahan memuncak menjadi ketakutan, kelompok Tionghoa itu berkumpul dan memutuskan untuk mengambil sikap berupa perlawanan. Sekali pun harus mengangkat senjata dan mempertaruhkan batang leher. Atas nama kejayaan dan keberhasilan menguasai jalur perdagangan rempah di Hindia, Belanda yang mendengar rencana ini tidak mau kena serangan lebih dulu. Sang Gubernur Jenderal, Adrian Valckeneir, mengambil langkah cenderung praktis. Sebelum pemberontakan terjadi, tangkap, dan bunuh orang-orang Tionghoa di Batavia!

Lalu di sebuah hari di awal abad 18 itu, orang Tionghoa yang rencananya ingin memberontak tidak berdaya menghadapi sergapan mendadak Belanda. Kalah jumlah, kalah persenjataan, dengan mudah Belanda menggelandang sekitar 14.000 (jumlah ini masih digugat karena diyakini lebih banyak) orang Tionghoa ke tepi Sungai Angke, lalu menyembelihnya. Air sungai menjadi merah, mayat-mayat hasil genosida tersebut konon katanya bisa menjadi jembatan. Dalam bahasa Tionghoa ‘Ang’ berarti merah, dan ‘Ke’ berarti sungai. Begitulah mengapa sungai yang mengalir dari barat Jakarta ke teluk di utara itu disebut Angke. Sumber lain mengatakan, mayat-mayat korban kekejaman Belanda itu dibuang ke sebuah daerah. Saking banyaknya tubuh tak bernyawa itu membentuk gunung hanya dalam waktu sehari. Oleh orang setempat disebut gunung sehari, kemudian diserap hingga kini menjadi Gunung Sahari.

Tersebutlah seorang perempuan keturunan Tionghoa bernama Tan Nio, yang bersembunyi berkat bantuan orang-orang Islam dari Banten, mendirikan sebuah masjid pada tahun 1761. Masjid tersebut selain sebagai tempat ibadah, awalnya menjadi tempat perlindungan etnis Tionghoa yang bersembunyi dari amarah tentara Belanda, kemudian menjadi markas pejuang dalam menyusun strategi melawan Belanda. Kebanyakan pejuang dari Cirebon, dan Banten.

Tidak jauh jarak ruang dan waktu dari peristiwa tersebut, di pesisir Sunda Kelapa, hidup seorang alim bestari penyebar agama Islam bernama Habib Husein al-Aydris. Saat itu, orang yang baru pulang dari Mekah (berhaji) sangat dihormati dan diikuti oleh banyak orang. Belanda tidak menyukai itu, karena orang pribumi dengan potensi seperti itu bisa membahayakan kekuasaan Belanda dengan pemberontakan. Sebagai upaya mengontrol orang yang baru pulang haji, Belanda memberikan gelar “Tuan Haji”, sebagai penanda bahwa orang tersebut dibawah pengawasan Belanda. Beberapa abad kemudian, orang akan banggak jika dipanggil “Pak Haji”.

Habib Husein jelas mendapat perlakuan seperti di atas. Karena ceramah-ceramahnya dianggap mengancam kelanggengan kepentingan Belanda, akhirnya Beliau di penjara. Ketika bebas, Habib Husein mendirikan sebuah masjid. Lalu Beliau wafat di masjid tersebut. Dan lagi-lagi dengan culasnya Belanda melarang jenazah Habib Husein dimakamkan dekat masjid karena dikhawatirkan banyak diziarahi pengikut yang berpotensi memberontak. Jenazah sang habib dibawa ke luar Batavia menggunakan kurung batang. Namun ketika sampai ditempat yang jauh, ketika tubuh tanpa nyawa sang habib akan dikebumikan, jenazah  tersebut raib dari kurung batang (dalam bahasa Betawi tertentu, “jenazah” disebut “batang”).

***

Tibalah masa milenium. Di mana saya hidup di dalamnya. Masjid Angke kini namanya menjadi Masjid Jami Al-Anwar, walau masih lebih terkenal dengan nama Masjid Angke. Panas terik siang itu tidak bisa mengalahkan minat saya atas kisah, sejarah, dan ziarah yang terdapat di masjid tersebut. Jika ditempat lain banyak masjid yang merenovasi, dan memperluas bangunannya, Masjid Angke justru ‘membongkar’ bangunan, pelataran, dan plafon-plafon tambahan. Seorang pria yang merupakan pengurus masjid sekaligus keturunan ke-8 Ny. Tan Nio, menjelaskan bahwa dia ingin menjadikan masjid ini seperti aslinya, waktu pertama kali pembangunannya di abad 18 (1700-an). Jadi, kalau sekarang kita melewati jalan Tubagus Angke yang ramai itu, masjid ini seperti satu-satunya rekam sejarah yang tersisa secara fisik. Autentikasinya sangat valid, atau paling tidak mendekati. Hingga sekarang, belum ditemukan data, dokumen, atau kemungkinan bangunan fisik masjid yang lebih tua dari Masjid Angke ini. Jika begitu, masjid yang letaknya bersebrangan dengan makan keturunan Sultan Hamid sang pendiri Kota Pontianak ini adalah masjid tertua di Jakarta. 
Walaupun pendirinya adalah keturunan Tionghoa, namun arsitektur masjid ini begitu majemuk dan plural. Atapnya berupa punden berundak jelas bergaya Jawa. Ukiran pada pintu-pintunya khas Bali, jeruji-jeruji jendelanya sangat Eropa, dan mimbar tempat imamnya adalah adaptasi dari arab Maroko. Sebuah pesan Bhineka Tunggal Ika jauh sebelum para founding father Indonesia mencetuskan konsep Pancasila. Keren? Bingits! 

 Lalu kita beralih ke Masjid Luar Batang masa kini. Saya familiar dengan wilayah Luar Batang ini ketika gubernur Jakarta di era Pak Basuki Thahjapurnama hendak menertibkan kawasan ini. Saat itu terjadi banyak pertentangan. Ketika saya berkunjung langsung ke sana, saya jadi sedikit mengerti kenapa kawasan ini perlu ditertibkan. Derah masjid ini bisa dibilang terpencil di antara megahnya gedung dan apartemen di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa, yang sewaktu-waktu bisa banjir jika air laut pasang. Yang paling menyedihkan, sih, banyaknya pengemis di sini. Bukannya saya antiorang miskin, tapi siapa yang tega melihat pengemis di tengah terik matahari, terlungkup di aspal, berteriak minta-minta, dengan sebuah ember di depannya?

Secara struktur bangunan, sudah tidak ada yang asli dari Masjid Luar Batang ini. Sejak dibangun oleh Habib Husein, tidak terhitung sudah berapakali masjid ini dipugar. Faktor alam adalah penyebabnya, karena ada di daerah pesisir dan semakin tenggelamnya teluk Jakarta, masjid ini juga ‘memaksa’ lantainya untuk naik. Jadi masjid yang kita lihat sekarang, sesungguhnya sudah terendam satu setengah meter. Ada makam Habib Husein al-Aydris di depan masjid. Banyak peziarah yang memanjatkan doa di hadapan mendiang sang habib. Sayang saya tidak sempat mengambil foto di masjid ini.

Dan untuk asal muasal nama ‘Luar Batang’, sebetulnya ada versi yang lebih bisa diterima semua pihak. Syahdan, dahulu di hilir Ciliwung ada batang dari kayu dan besi yang membatasi sungai dan laut. Jadi apabila ada kapal yang melewati batang tersebut akan dikenakan denda. Nah, wilayah ini ada di luar dari batang tersebut.

Demikian cerita saya tentang masjid bersejarah di Jakarta. Ada beberapa masjid lagi yang memegang peranan penting dalam sejarah Jakarta, bahkan Indonesia. Suatu saat saya harus mengunjunginya, dan menemukan harta karun berupa cerita-cerita dan pesan adiluhung tak terkira.

Terima kasih untuk @wisatasekolah, @jktgoodguide, dan Mas Canda yang sudah mereka-reka ulang kisah dengan sangat baik dan menarik tentang rumah-rumah Tuhan di atas sehingga bisa saya tuliskan kembali di sini. Semoga Tuhan memberkati. Amin. =)
Share:

Monday, 4 June 2018

Tips Murah Berwisata ke Kepulauan Seribu

Untuk orang kantoran dan bekerja di Jakarta, mencari destinasi wisata pantai yang bagus dan komplit ternyata tidak sulit. Provinsi-provinsi tetangga memiliki pantai-pantai unggulan yang sudah terkenal. Banten, misalnya, punya Pulau Peucang, Pulau Sangiang, atau Pantai Sawarna. Jawa Barat punya Pantai Pelabuhan Ratu. Dan kalau mau sedikit jauh, ada Lampung dengan Pahawang, Teluk Kiluan, atau Anak Gunung Krakatau. Semuanya bisa dilalui dalam satu weekend saja.

Namun, karena letaknya di luar kota, biaya untuk ke spot wisata di atas juga lumayan. Mahal, sih, tidak. Tapi buat saya ikut open trip ke destinasi tersebut cukup membuat goyah cash flow rekening bank. Untuk mengakalinya, saya mencari pantai yang jaraknya tidak jauh dari Jakarta tetapi masih proper untuk, setidaknya, snorkeling dan menyaksikan sunset yang cukup layak untuk diberi embel-embel caption “Pecinta Senja” di Instagram. Pilihannya tentu saja Kepulauan Seribu.

Objek wisata di Kepulauan Seribu ini sudah tentu full wisata bahari. Bulan lalu saya mencoba rute baru ke Kepulauan Seribu, dan ternyata dengan jalur tersebut ongkos menjadi lebih murah. Karena saya adalah travel bloger kelas menengah ke bawah, ya kalau ada yang lebih murah harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Berikut tips dari saya supaya wisata ke Kepulauan Seribu bisa lebih murah:

1. Naik Kapal Sabuk Nusantara

Jika biasanya, dan memang sebagian besar, berwisata ke Kepulauan Seribu dengan budget minim itu lewat Dermaga Kaliadem di Muara Angke, kalau mau lebih memotong ongkos perjalanan cobalah untuk lewat Pelabuhan Sunda Kelapa. Hanya ada satu kapal yang melayani rut eke Kepulauan Seribu, yaitu kapal Sabuk Nusantara. Tidak setiap hari kapal ini bertolak dari Sunda Kelapa. Ada jadwalnya, yaitu hari Senin, Rabu, dan Sabtu. Sedangkan untuk sebaliknya adalah Selasa, Kamis, dan Minggu.

Kenapa saya bilang kalau naik kapal ini lebih murah? Karena ongkosnya hanya lima belas ribu rupiah saja. Sabuk Nusantara adalah kapal subsidi dari Departemen Perhubungan dan Pemprov DKI. Kalau naik kapal regular dari Pelabuhan Kaliadem, Muara Angke, sekali jalan bisa kena lima puluh ribu rupiah. Margin penghematan yang lumayan, bukan?

Kapal ini mempunyai titik pemberhentian. Yaitu Pelabuhan Sunda Kelapa-Pulau Untung Jawa-Pulau Pramuka-Pulau Kelapa. Saya waktu itu ke Pulau Pramuka memakan waktu tiga jam. Dan naik kapal ini sedikit tricky, karena harganya murah. Sabuk Nusantara berangkat jam delapan pagi, walaupun begitu jika kuota penumpangnya sudah penuh maka pintu kapal akan ditutup dan tidak menerima penumpang lagi walau belum jam delapan. Saya sangat menyarankan untuk datang sepagi mungkin. Jika pergi rombongan, sebisa mungkin ada satu orang yang sudah di dermaga untuk booking tempat dan melakukan pembayaran, nanti nama-nama pesertanya di data dan dicatat.

Eit, jangan khawatir soal fasilitas kapal Sabuk Nusantara ini. Walaupun operasionalnya ditopang oleh subsidi, tidak berarti service-nya menjadi seadanya. Saya pun lumayan surprise ketika masuk dan ke lantai dasar, ada dormitory dengan kasur tingkat full AC dan TV berwarna. Wuih, sudah mirip dengan penginapan-penginapan budget untuk backpacking, hanya kurang free wifi saja. Jadi selama perjalanan 3-4 jam, kita bisa tidur dengan nyaman. Untuk yang mabuk laut, tidak perlu khawatir. Fasilitas lainnya adalah, ada cafeteria yang barang dagangannya harganya sama dengan di warung-warung. Ada yang pernah trauma jajan di kapal ferry karena harganya yang berkali-kali lipat? Di Sabuk Nusantara tidak perlu khawatir, sehabis minum anti mabuk, langsung bisa beristirahat tidur nyenyak. 

Untuk jadwal kepulangan, jika kita pergi di hari Sabtu, maka pastikan di hari Minggu kita sudah berada di dermaga Pulau Pramuka sebelum jam 10 untuk reservasi tempat kembali ke Pelabuhan Sunda Kelapa.

2. Pergi Dengan Cara Berkelompok

Berwisata ke Kepulauan Seribu memang umumnya berkelompok, terutama jika kita memakai jasa travel agent. Walaupun pergi sendiri, nantinya akan dikelompokan dengan rombongan lain. Namun, bisa juga lho wisata ke Kepulauan Seribu ini tidak menggunakan jasa travel agent namun dengan harga lebih murah. Usahakan pergi dengan anggota minimal 10 orang. Lalu pergi lah menuju Pulau Pramuka, pulau besar yang dilalui oleh kapal Sabuk Nusantara tadi. Di sana akan banyak pemilik perahu yang menawarkan perahunya untuk ke pulau-pulau di sekitar Pulau Pramuka. Kalau kita datang dengan berkelompok, kita bisa carter perahu dan bebas menentukan mau ke pulau mana tanpa harus menunggu kuota perahu penuh.

3. Berwisata Dengan Cara Berkemah

Ini masih berhubungan dengan poin nomor 2. Kepulauan Seribu, selain memiliki pulau-pulau dengan penduduk, pulau dengan resort, juga memiliki pulau kosong yang bisa digunakan untuk berkemah. Pulau Kotok, dan Pulau Semak Daun adalah rekomendasi dari saya (akan saya tulis di artikel lain detail mengenai dua pulau ini). Izin berkemah di sini hanya 35 ribu rupiah per orang. Caranya? Dari Pulau Pramuka naik perahu kecil dengan tarif 50 ribu rupiah per orang PP. Nah, di sini tips nomor 2 tadi berguna. Kalau kita pergi dengan rombongan, pemilik perahu menawarkan harga carter 500 ribu rupiah, plus dapat fasilitas antar jemput ke spot snorkeling. Fasilitas yang tidak kita dapatkan jika pergi perorangan. Dengan cara berkemah ini kita bisa menghemat anggaran namun mendapat pengalaman tur yang sama dengan kalau kita wisata ke Kepulauan Seribu dengan travel agent dan menginap di homestay.


Bulan lalu ketika saya ke Pulau Kotok, dengan 9 orang teman, total semua biaya adalah 203 ribu rupiah per orang, sudah termasuk sewa alat snorkeling seharga 30 ribu per hari per orang. Jadi untuk yang ingin variasi wisata ke Kepulauan Seribu karena bosan ke Pulau Tidung, atau Pulau Pari, tips di atas bisa dicoba. Selamat berwisata ke Kepulauan Seribu =)
Share: