Taman Nasional Gunung Gede Pangrango adalah salah satu gunung favorit para pendaki. Akses yang mudah ke basecamp pendakian dan keindahan serta fenomena alamnya yang indah adalah faktor utama mengapa taman nasional ini kerap menjadi tujuan. Untuk akses, bisa dimulai dari Cibodas, Gunung Putri, atau Selabintana. Cibodas mungkin jalur paling dikenal karena berdekatan dengan Kebun Raya Cibodas dan transportasi umum dari Jakarta pun sangat memadai. Jalur Cibodas ini juga yang saya lalui ketika mengalami pengalaman luar biasa dan akan saya ceritakan pada postingan ini.
Tujuan utama para pendaki ke Gunung Gede-Pangrango adalah, selain puncak, ingin melihat atau berkemah di lembah padang bunga edelweiss yang dimiliki oleh masing-masing gunung. Gunung Gede memiliki Lembah Suryakencana, dan Gunung Pangrango mempunyai lembah legendaris yang di gambarkan oleh Soe Hok Gie dalam puisinya sebagai tempat romantis, yaitu Lembah Mandalawangi.
Saya dan ketujuh teman memutuskan untuk ke Gunung Pangrango dan berkemah di Mandalawangi. Bakda subuh kami sudah berangkat, dan beristirahat cukup lama di Telaga Warna. Kami masak sarapan, bahkan tertidur hingga hari beranjak siang. Cuaca cerah, bahkan dari jembatan seteah Telaga Warna puncak Gunung Gede jelas terlihat. Ini jelas bikin kami semangat. Ke gunung dan cuaca cerah adalah kombinasi dua hal yang sempurna.
Tengah hari, kami sampai di Pos Air Panas. Pos ini salah satu daya tarik untuk mendaki Gunung Gede-Pangrango via jalur Cibodas. Kita harus melewati air terjun, dan sungai kecil berair panas. Karena panasnya, sesekali saya harus berjalan melewati kabut asap. Beruntung di sisi kanan sungai dipasang pembatas tambang untuk berpegangan, karena di sisi itu langsung berbatasan dengan jurang. Suhu airnya pun cukup tinggi, saya yang pakai sepatu gunung saja terasa panansnya di ketika air merembes hingga kaos kaki. Tetapi ada satu lokasi yang airnya panasnya pas untuk merendam kaki dan melepas pegal-pegal di persendian. Sebuah tempat relaksasi yang mewah!
Tepat beberapa meter di atas Pos Air Panas, kami tiba di sebuah tanah lapang bernama Pos Kandang Batu. Kandang Batu ini merupakan spot kemah juga karena banyaknya tanah kosong dan landai, sumber airnya pun dekat. Tempat ini sempat terkenal karena pernah ada pendaki yang hipotermia hingga meninggal.
Di sini kami terpecah, tiga orang memutuskan untuk tinggal di Kandang Batu. Sedangkan lima orang (termasuk saya) memutuskan untuk lanjut. Langit sudah tidak secerah tadi pagi. Di beberapa bagian, awan kelabu sudah terlihat. Rombongan saya memutuskan untuk setidaknya sampai di Kandang Badak, agar kalau memang mau summit ke puncak Gunung Pangrango dan Lembah Mandalawangi tidak terlalu jauh.
Rombongan kecil berjumlah lima orang itu adalah saya, Centong, Ian, beserta dua orang gadis, Kris, dan Dechan. Pukul lima sore kami tepat sampai di Pos Kandang Badak. Di pos ini biasanya para pendaki mendirikan tenda karena untuk ke puncak Gunung Gede-Pangrango sudah dekat. Kami berdiskusi apakah mau buka tenda di sini, atau lanjut saja hingga Mandalawangi walaupun dengan resiko berjalan malam.
Keindahan lembah Mandalawangi Gunung Pangrango dalam puisi Soe Hok Gie membuat kami memutuskan untuk melanjutkan, ditambah karena hari itu lapak tenda di Kandang Badak sudah penuh. Tidak ada tanah kosong datar lagi yang tersedia.
Naik sedikit dari Kandang Banteng, saya dan teman-teman berbelok ke kanan, jalur ke Gunung Pangrango. Kalau ambil lurus akan menuju Lambah Suryakencana Gunung Gede. Tidak seperti jalur ke Gunung Gede, jalur Gunung Pangrango relatif jarang dilewati pendaki. Sebab itu banyak batang pohon tumbang dan semak-semak lebat tanda jalan setapaknya tidak banyak dilalui. Tidak jarang kami harus merangkak untuk melewati batang pohon yang menghalangi jalan. Semakin sulit karena kami membawa keril yang harus dipasang-copot, punggung rasanya remuk.
Tepat setelah hari gelap, setelah kami memasang headlamp masing-masing, hujan deras turun tanpa adanya isyarat seperti gerimis atau angin. Kami kelabakan mebuka keril mencari ponco. Drama pun dimulai.
Hujan semakin deras. Jalur pendakian berubah menjadi sungai kecil. Kami terus berjalan hingga menemui pendaki lain di sebuah tanjakan. Mereka sudah buka tenda di satu-satunya tanah kosong dan datar di wilayah tersebut. Kami tidak bisa mendirikan tenda. Akhirnya kami membuat tempat perlindungan sementara dengan memakai cover tenda yang diikat seadanya ke ranting-ranting pohon. Pengikatnya pun bukan tali, melainkan plastik trash bag yang dipotong-potong memanjang. Kami berteduh dibawahnya sambil berharap hujan berhenti.
Tujuan utama para pendaki ke Gunung Gede-Pangrango adalah, selain puncak, ingin melihat atau berkemah di lembah padang bunga edelweiss yang dimiliki oleh masing-masing gunung. Gunung Gede memiliki Lembah Suryakencana, dan Gunung Pangrango mempunyai lembah legendaris yang di gambarkan oleh Soe Hok Gie dalam puisinya sebagai tempat romantis, yaitu Lembah Mandalawangi.
Saya dan ketujuh teman memutuskan untuk ke Gunung Pangrango dan berkemah di Mandalawangi. Bakda subuh kami sudah berangkat, dan beristirahat cukup lama di Telaga Warna. Kami masak sarapan, bahkan tertidur hingga hari beranjak siang. Cuaca cerah, bahkan dari jembatan seteah Telaga Warna puncak Gunung Gede jelas terlihat. Ini jelas bikin kami semangat. Ke gunung dan cuaca cerah adalah kombinasi dua hal yang sempurna.
Tengah hari, kami sampai di Pos Air Panas. Pos ini salah satu daya tarik untuk mendaki Gunung Gede-Pangrango via jalur Cibodas. Kita harus melewati air terjun, dan sungai kecil berair panas. Karena panasnya, sesekali saya harus berjalan melewati kabut asap. Beruntung di sisi kanan sungai dipasang pembatas tambang untuk berpegangan, karena di sisi itu langsung berbatasan dengan jurang. Suhu airnya pun cukup tinggi, saya yang pakai sepatu gunung saja terasa panansnya di ketika air merembes hingga kaos kaki. Tetapi ada satu lokasi yang airnya panasnya pas untuk merendam kaki dan melepas pegal-pegal di persendian. Sebuah tempat relaksasi yang mewah!
Tepat beberapa meter di atas Pos Air Panas, kami tiba di sebuah tanah lapang bernama Pos Kandang Batu. Kandang Batu ini merupakan spot kemah juga karena banyaknya tanah kosong dan landai, sumber airnya pun dekat. Tempat ini sempat terkenal karena pernah ada pendaki yang hipotermia hingga meninggal.
Di sini kami terpecah, tiga orang memutuskan untuk tinggal di Kandang Batu. Sedangkan lima orang (termasuk saya) memutuskan untuk lanjut. Langit sudah tidak secerah tadi pagi. Di beberapa bagian, awan kelabu sudah terlihat. Rombongan saya memutuskan untuk setidaknya sampai di Kandang Badak, agar kalau memang mau summit ke puncak Gunung Pangrango dan Lembah Mandalawangi tidak terlalu jauh.
Rombongan kecil berjumlah lima orang itu adalah saya, Centong, Ian, beserta dua orang gadis, Kris, dan Dechan. Pukul lima sore kami tepat sampai di Pos Kandang Badak. Di pos ini biasanya para pendaki mendirikan tenda karena untuk ke puncak Gunung Gede-Pangrango sudah dekat. Kami berdiskusi apakah mau buka tenda di sini, atau lanjut saja hingga Mandalawangi walaupun dengan resiko berjalan malam.
Keindahan lembah Mandalawangi Gunung Pangrango dalam puisi Soe Hok Gie membuat kami memutuskan untuk melanjutkan, ditambah karena hari itu lapak tenda di Kandang Badak sudah penuh. Tidak ada tanah kosong datar lagi yang tersedia.
Naik sedikit dari Kandang Banteng, saya dan teman-teman berbelok ke kanan, jalur ke Gunung Pangrango. Kalau ambil lurus akan menuju Lambah Suryakencana Gunung Gede. Tidak seperti jalur ke Gunung Gede, jalur Gunung Pangrango relatif jarang dilewati pendaki. Sebab itu banyak batang pohon tumbang dan semak-semak lebat tanda jalan setapaknya tidak banyak dilalui. Tidak jarang kami harus merangkak untuk melewati batang pohon yang menghalangi jalan. Semakin sulit karena kami membawa keril yang harus dipasang-copot, punggung rasanya remuk.
Tepat setelah hari gelap, setelah kami memasang headlamp masing-masing, hujan deras turun tanpa adanya isyarat seperti gerimis atau angin. Kami kelabakan mebuka keril mencari ponco. Drama pun dimulai.
Hujan semakin deras. Jalur pendakian berubah menjadi sungai kecil. Kami terus berjalan hingga menemui pendaki lain di sebuah tanjakan. Mereka sudah buka tenda di satu-satunya tanah kosong dan datar di wilayah tersebut. Kami tidak bisa mendirikan tenda. Akhirnya kami membuat tempat perlindungan sementara dengan memakai cover tenda yang diikat seadanya ke ranting-ranting pohon. Pengikatnya pun bukan tali, melainkan plastik trash bag yang dipotong-potong memanjang. Kami berteduh dibawahnya sambil berharap hujan berhenti.
Perkiraan kami salah. Hujan stabil. Cover tenda sudah tidak mampu menahan air hujan karena memang bukan itu fungsinya.
“Bal, Elu tunggu di sini ama cewek-cewek. Gue sama Ian ke atas nyari tanah kosong, gue bawa tenda. Kalo sepuluh menitan gue belom balik lu nyusul ke atas.” Centong memberi kami arahan.
Rasanya lebih dari sepuluh menit saya, Dechan, dan Kris terduduk di tanjakan tadi. Karena terlalu lama diam kami jadi kedinginan. Sudah tidak ada satu jengkalpun dari kami yang kering. Saya mengajak Kris, dan Dechan untuk menyusul Centong dan Ian. Medan yang semakin terjal dan penuh akar pohon semakin menyulitkan pergerakan kami. Samar-samar saya melihat cahaya senter di atas sana. Itu pasti Centong dan Ian yang lagi pasang tenda. Lega hati ini, karena akhirnya kami akan bernaung.
Yang saya dapati pertama kali saat sampai di tempat Centong adalah tenda yang sudah berdiri, tetapi air muka Centong kelihatan tidak enak.
“Tenda kita ukurannya tiga kali tiga, tapi tanahnya cuma dua meteran kayaknya. Jadi nggak muat. Kita harus cari tanah lagi.”
CRAP!
Tenda pun dibongkar. Saat sedang membongkar, terlihat Centong sedikit menahan tawa.
“Ngapa lu? Kesambet?”
“Kagak. Tadi si Ian pas lagi pasang tenda terus tau tendanya kegedean, ngerengek ke gue, ‘A CEN, IAN REK MEWEEEEEKKK’!, anjir ekspresinya lucu banget.” Centong berbisik. Kami tertawa. Lumayan mengurangi dingin.
Setelah tenda dilipat, dan dimasukkan ke plastic trash bag, karena kalau dimasukkan kembali k etas khawatir tambah basah, kami melanjutkan pendakian. Naik terus ke atas. Sekarang pilihannya hanya balik lagi ke Kandang Badak yang sudah sangat jauh di bawah, atau lanjut ke Mandalawangi di tengah hujan.
Kami berpapasan dengan rombongan yang turun. Kami saling menyapa. Saya bertanya apakah Mandalawangi sudah dekat. Dan saya menyesal sudah bertanya setelah mendengar jawabannya.
“Wah, masih jauh, Bang. Kita aja baru turun dari sana dua jam yang lalu, kalo kalian mah naik, apalagi bawa keril gini bisa empat jam lebih baru sampe.”
Empat jam? Rasanya kami sudah tidak kuat. Makan pilihan satu-satunya adalah kembali ke Kandang Badak dan berharap masih ada satu tempat kosong untuk tenda kami. Kami berhenti sejenak, mengambil nafas. Tidak terasa kami kedinginan. Saya, Centong, dan Ian berdekatan sambil mengigil. Dechan tiba-tiba nyeletuk,
“Kalian bertiga pada pelukan, deh, biar anget.”
Kami yang cowok-cowok berpandangan. Mau tertawa tapi tenaga sudah habis. Asli, itu lucu, sumpah! Tida terbanyang kami bertiga berpelukan, terus ada yang baper.
Sampai kembali di Kandang Badak sudah jam satu malam. Puji Tuhan kami menemukan tanah datar di dekat mushola. Keeseokannya kami terbangun jam sembilan. Cukup siang. Kris bahkan harus tidur dengan sebagian baju yang lembab.
Kami harus menunda perjumpaan dengan lembah kasihnya Soe Hok Gie. Lembah Mandalawangi. Ego kami memang berontak minta dipuaskan, tetapi keselamatan jiwa adalah yang utama. Lain kali, ya, Lembah Mandalawangi. Sampai nanti, Gunung Pangrango!
Berpelukan… =)
“Bal, Elu tunggu di sini ama cewek-cewek. Gue sama Ian ke atas nyari tanah kosong, gue bawa tenda. Kalo sepuluh menitan gue belom balik lu nyusul ke atas.” Centong memberi kami arahan.
Rasanya lebih dari sepuluh menit saya, Dechan, dan Kris terduduk di tanjakan tadi. Karena terlalu lama diam kami jadi kedinginan. Sudah tidak ada satu jengkalpun dari kami yang kering. Saya mengajak Kris, dan Dechan untuk menyusul Centong dan Ian. Medan yang semakin terjal dan penuh akar pohon semakin menyulitkan pergerakan kami. Samar-samar saya melihat cahaya senter di atas sana. Itu pasti Centong dan Ian yang lagi pasang tenda. Lega hati ini, karena akhirnya kami akan bernaung.
Yang saya dapati pertama kali saat sampai di tempat Centong adalah tenda yang sudah berdiri, tetapi air muka Centong kelihatan tidak enak.
“Tenda kita ukurannya tiga kali tiga, tapi tanahnya cuma dua meteran kayaknya. Jadi nggak muat. Kita harus cari tanah lagi.”
CRAP!
Tenda pun dibongkar. Saat sedang membongkar, terlihat Centong sedikit menahan tawa.
“Ngapa lu? Kesambet?”
“Kagak. Tadi si Ian pas lagi pasang tenda terus tau tendanya kegedean, ngerengek ke gue, ‘A CEN, IAN REK MEWEEEEEKKK’!, anjir ekspresinya lucu banget.” Centong berbisik. Kami tertawa. Lumayan mengurangi dingin.
Setelah tenda dilipat, dan dimasukkan ke plastic trash bag, karena kalau dimasukkan kembali k etas khawatir tambah basah, kami melanjutkan pendakian. Naik terus ke atas. Sekarang pilihannya hanya balik lagi ke Kandang Badak yang sudah sangat jauh di bawah, atau lanjut ke Mandalawangi di tengah hujan.
Kami berpapasan dengan rombongan yang turun. Kami saling menyapa. Saya bertanya apakah Mandalawangi sudah dekat. Dan saya menyesal sudah bertanya setelah mendengar jawabannya.
“Wah, masih jauh, Bang. Kita aja baru turun dari sana dua jam yang lalu, kalo kalian mah naik, apalagi bawa keril gini bisa empat jam lebih baru sampe.”
Empat jam? Rasanya kami sudah tidak kuat. Makan pilihan satu-satunya adalah kembali ke Kandang Badak dan berharap masih ada satu tempat kosong untuk tenda kami. Kami berhenti sejenak, mengambil nafas. Tidak terasa kami kedinginan. Saya, Centong, dan Ian berdekatan sambil mengigil. Dechan tiba-tiba nyeletuk,
“Kalian bertiga pada pelukan, deh, biar anget.”
Kami yang cowok-cowok berpandangan. Mau tertawa tapi tenaga sudah habis. Asli, itu lucu, sumpah! Tida terbanyang kami bertiga berpelukan, terus ada yang baper.
Sampai kembali di Kandang Badak sudah jam satu malam. Puji Tuhan kami menemukan tanah datar di dekat mushola. Keeseokannya kami terbangun jam sembilan. Cukup siang. Kris bahkan harus tidur dengan sebagian baju yang lembab.
Kami harus menunda perjumpaan dengan lembah kasihnya Soe Hok Gie. Lembah Mandalawangi. Ego kami memang berontak minta dipuaskan, tetapi keselamatan jiwa adalah yang utama. Lain kali, ya, Lembah Mandalawangi. Sampai nanti, Gunung Pangrango!
Berpelukan… =)