Wednesday, 5 September 2018

Jalan-Jalan ke Cikini, Pusat Kota Penuh Cerita

Saya pernah merasa bahwa kota metropolitan seperti Jakarta museumnya sangat kurang. Namun, setelah beberapa kali mengikuti tour yang diadakan oleh Jakarta Good Guide, saya mendapati bahwa ternyata museum di Jakarta itu salah satu yang terbanyak di Asia Tenggara. Kelihatan sedikit mungkin karena saya tahunya ya Monas lagi, Monas lagi. Paling banter Kota Tua.

Tetapi kalau disimak lagi bagaimana sejarah perkembangan Jakarta, banyak fakta menarik dan penuh cerita. Di setiap tempat, dan nama suatu daerah di Jakarta memiliki banyak kisah menarik dan sarat kejadian penting dalam perjalanan bangsa ini. Bisa dibilang, Jakarta adalah museum itu sendiri.

Cikini adalah salah satu daerah di Jakarta yang memiliki cerita lampau penuh makna. Kawasan di pusat Jakarta ini kini menjadi seperti pusat budaya ibukota dengan Taman Ismail Marzukinya. TIM hanya salah satu tempat yang bisa dikulik lebih jauh di Cikini. Ada beberapa tempat dan fakta lagi yang bisa bercerita dan memuaskan rasa ingin tahu kita.

Cikini adalah kawasan yang dulunya oleh pemerintah Kolonial Belanda dibangun untuk menunjang kehidupan pemukiman para pejabatnya di Menteng. Di sana dibangun fasilitas pertokoan. Seiring berjalannya waktu, Cikini tumbuh pesat di tengah pusat Jakarta yang metropolis namun tetap ada warisan sejarah yang bertahan. Berikut beberapa cerita dan tempat bersejarah itu:

1. Kantor Pos  
Kalau kita melalui Jalan Cikini Raya dari arah Tugu Tani, pasti melewati kantor pos ini. Ini adalah kantor pos pertama di Indonesia yang buka 24 jam, jadi kalau lagi tiba-tiba ada dokumen atau barang dengan urgensi tinggi harus dikirim walau di tengah malam atau hari libur, sudah tahu kan lewat mana mengirimnya? Arsitekturnya tetap mempertahankan gaya kolonial. Kalau masuk, kesan classy langsung terasa.


2. Bakul Coffee  
Menyusuri trotoar di Jalan Raya Cikini, masih satu deret dengan kantor pos, akan kita jumpai sebuah kedai kopi bernama Bakul Coffee. Kedai ini memiliki kaitan erat dengan sejarah kontribusi kopi Indonesia di dunia. Ternyata dulunya kedai ini adalah sebuah warung nasi yang menyuplai makanan untuk karyawan-karyawan Belanda. Syahdan, ada ibu-ibu yang menawarkan kopi dari Jawa untuk dijual di warung nasi tersebut. Dan ternyata laku. Bahkan biji kopinya jauh lebih laku daripada makanannya. Oleh sebab itu pemiliknya memutuskan untuk menjual kopi saja.

Lalu di mana sejarah kopinya? Karena nikmatnya rasa kopi dari Jawa ini, Belanda membuat kebijakan tanam paksa yang mengharuskan daerah pertanian di Jawa ditanami kopi. Belanda lalu menjualnya ke Eropa, sisanya dilelang ke Amerika. Di Amerika, kopi asal Jawa selalu menjadi kopi dengan harga paling tinggi. Bahkan, bangsawan Amerika jika ingin memesan kopi akan berujar, “A cup of Java, please!”

Beratus tahun kemudian ketika komputer sudah ditemukan, ada seorang programmer Amerika bernama James Gosling. Dia berhasil membuat sebuah bahasa pemrograman yang diberinya nama ‘Oak’. Namun, programnya itu tidak laku karena namanya kurang komersil. Hingga akhirnya dia mengganti nama karyanya dengan minuman yang biasa dia minum ketika sedang membuat program. Minuman yang berabad lalu dikenal oleh bangsawan negerinya dengan ‘Cup of Java’. Maka program itu diberi nama ‘Java’ dengan simbol cangkir kopi. Program itu sekarang ada di hampir tiap komputer di seluruh dunia.

3. A. Kasoem 
Kalau lewat ruas Jalan Cikini Raya, pada sisi yang bersebrangan dengan TIM, maka kita akan melihat sebuah plang besar bertuliskan ‘A. KASOEM’. Untuk pengguna setia kacamata, pasti familiar dengan nama Kasoem. Namun, mungkin masih belum semua tahu cerita tentang trah Kasoem ini.

Beliau adalah optician (ahli optik) pertama di Indonesia. Nama lengkapnya Acung Kasoem, asli Sunda. Sewaktu perang masih berkecamuk di Pasifik, dan Indonesia masih dibawah kependudukan Jepang, A. Kasoem bekerja pada seorang birokrat Jerman yang menetap di Indonesia. Karena pada perang tersebut Jerman dan Jepang berada dalam satu kubu, A. Kasoem meminta kepada atasannya itu agar melobi Jepang supaya memberikan kemerdekaan bagi Indonesia.

Atasannya itu bertanya balik, “memangnya kalau bangsamu merdeka mau apa? Kehidupan perekonomianmu tetap akan bergantung pada bangsa lain. Mengisi kemerdekaan itu tidak mudah. Kau kusekolahkan saja ke Jerman, belajar membuat kacamata di sana. Setiap orang berumur di atas empat puluh tahun, kemungkinan memerlukan kacamata. Bangsamu lebih perlu itu sekarang”. Berangkatlah Acung Kasoem ke Eropa.

Sepulangnya dari Eropa, A. Kasoem menjadi pembuat kacamata bagi para pejabat istana di cabinet Presiden Soekarno. Bisnisnya masih langgeng hingga kini. Bahkan usahanya menurun ke anak perempuannya, Lily Kasoem. 


4. Roti Tan Ek Tjoan
Ini roti legenda di Cikini. Tercermin dari namanya, roti ini dibuat oleh orang Tionghoa bernama Tan Ek Tjoan (menurut ngana?). Tapi sebetulnya pembuat rotinya adalah istrinya bernama Li Pan, Bapak Tan sebagai perencana bisnisnya. Dahulu pabri roti ini ada di Jalan Cikini Raya, namun, karena ada peraturan daerah yang melarang pabrik berdiri di tengah kota, maka pabriknya pindah ke Ciputat. Walau begitu, agen-agen dan pengecernya masih banyak yang berjualan di Cikini.

Roti ini menganut filosofi Yin dan Yang, di mana itu tercermin dari dua varian roti utamanya. Roti gambang yang keras, dan roti bim bam yang empuk. Roti Tan Ek Tjoan di masa awal kemerdekaan adalah roti favorit Bung Hatta. 



5. Taman Ismail Marzuki (TIM)
Ini adalah kawasan paling ikonik di Cikini. Kalau bicara soal Cikini, ya TIM patokannya. Awalnya, TIM adalah bagian dari taman rumahnya Raden Saleh. Sekadar informasi tambahan, rumah Raden Saleh itu adalah yang sekarang Rumah Sakit PGI, sedangkan taman rumahnya ada di TIM. Terbayang betapa luasnya tanah sang pelukis ini. Hal yang wajar karena Beliau adalah pelukis Belanda.

Raden Saleh adalah pecinta binatang, oleh sebab itu taman rumahnya terdapat berbagai macam binatang sehingga terlihat seperti kebun binatang. Ketika Raden Saleh memutuskan tinggal di Belanda, tanah miliknya itu dihibahkan ke yayasan yang sekarang menaungi RS. PGI, dan Pemprov DKI Jakarta.

Di masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, taman tersebut diubah peruntukkannya menjadi tempat berkumpul para seniman dan budayawan di Jakarta. Pemberian namanya didasari oleh seniman besar asal Betawi, yaitu Ismail Marzuki. Sementara itu binatang-binatang peninggalan sejak zaman Raden Saleh dipindahkan ke Ragunan. Jadi banyaknya tempat makan di Cikini yang memakai nama ‘Bonbin (kebon binatang)’, bisa terjelaskan.

Taman Ismail Marzuki, dalam perjalanannya bukan hanya pusat budaya dan seni. Di sana dibangun juga planetarium, perpustakaan, bioskop, dan yang terbaru gedung teater bernama Teater Jakarta. Teater Jakarta ini baru selesai pembangunannya tahun 2011, padahal pembangunannya dimulai tahun 1996. Mangkrak karena krisis moneter terjadi. Teater Jakarta ini, jika jadi tepat waktu, maka akan jadi gedung dengan teknologi paling mutakhir di Jakarta. Konsep design-nya terilhami dari bentuk rumah adat Sulawesi Selatan, Tongkonan.

Masih banyak sebetulnya yang bisa diceritakan soal Cikini. Seperti makam Habib Cikini yang selalu banjir ketika mau digusur pengembang, rumah Raden Saleh yang sekarang jadi kantor direksi RS PGI, Masjid Jami Cikini yang jadi tempat bergaul H. Agus Salim, dan masih banyak lagi. Selamat datang di kawasan penuh kisah, Cikini! 



Share: