Friday, 23 November 2018

Pantai, Tiket Pesawat, dan Hotel Dalam Satu Paket

 Pantai. Laut. Ombak. Aroma asin. Terumbu karang. Ikan multiwarna. Matahari terbit, dan tenggelam. Siapa tidak sayang dan rindu perpaduan alam sebegitu membuainya?

Namun dalam rentang waktu yang tidak terlalu jauh beberapa waktu lalu, setidaknya ada dua peristiwa viral di jejaring sosial media yang membuat siapa pun pecinta suasana laut dan seisinya akan bersedih. Yang pertama ketika Menteri Perikanan dan Kelautan Republik Indonesia, Ibu Susi Pudjiastuti, dalam akun Twitternya mengajak masyarakat untuk mengurangi penggunaan sedotan plastik karena bisa termakan oleh penyu. Lalu yang kedua, adalah berita kematian seekor paus sperma dan ditemukan berkilo-kilo sampah di perutnya. 



Sedih dan pedih tentu saja. Semoga tidak ada lagi yang membuang sampah sembarangan ke laut. Indonesia memiliki aris pantai amat panjang dan terlalu indah untuk dirusak oleh sampah. Kita masyarakat Indonesia telah ditakdirkan untuk menjadikan laut sebagai salah satu penopang utama kehidupan. Untuk perekonomian bagi para nelayan, jalur pendistribusian logistik, memproduksi garam, dan sebagai penyimpan minyak bumi terbesar.

Baiklah, jika memang contoh di atas terlalu makro, mari diperkecil skalanya. Bagi diri saya sendiri. Bagi saya pantai dan laut sangat vital fungsinya bagi pariwisata. Pantai adalah tempat paling general yang dipilih orang untuk tempat berlibur. Setiap akhir pekan tiba, ada saja status sosial media teman-teman yang bilang kangen pantai, atau kebelet snorkeling. Yang anak indie akan bergumam rindu secangkir kopi sambil merelakan mentari terbenam. Lalu anak milenial gaul akan bertutur need a vitamin sea!
Sebegitu pentingnya pantai bagi saya dan teman-teman saya sebagai tempat melepas penat. Semoga saja isu sampah ini tidak meluas ke wilayah Indonesia lainnya. Karena saya sudah berencana untuk berlibur ke Karimunjawa. Akhir tahun ini ada libur Natal, dan sisa cuti saya beberapa hari yang saya sungguh merasa berdosa jika tidak menggunakannya. Walaupun banyak libur, saya mau waktu saya di Karimunjawa lebih lama dan efektif. Supaya lebih puas menginap di homestay terapungnya, dan punya banyak waktu untuk melihat penangkaran hiu

Jadi saya merancang perjalanan saya tidak dengan lewat darat dengan kereta atau bus jurusan Semarang atau Jepara. Namun, melaui udara dengan pesawat. Jadilah saya berburu tiket pesawat. Perjalanan dengan pesawat ke Karimunjawa tidak bisa langsung ternyata, hanya pesawat perintis yang bisa mengudara dari, dan ke Bandara Dewadaru. Jadi harus transit dulu di Semarang. Jadi sibuk buka-tutup beberapa laman web dan aplikasi di smartphone saya.

Sedang asyik-asyiknya hunting tiket, saya terdistrak oleh tempat menginap di Karimunjawa. Akhir tahun adalah peak season, jadi kemungkinan akan full booked. Haduh, pekerjaan hunting-hunting akomodasi ini cukup pelik ternyata. Ya sudah, daripada saya buka satu persatu web untuk perbandingan, saya buka aplikasi Traveloka saja. Dan beruntungnya saya karena di aplikasi ini ada fitur yang mengakomodir saya untuk pesan tiket pesawat plus hotel/penginapan sekaligus.

Begitu masuk aplikasi, ada beberapa konsol digital yang cukup user friendly. Pilih tombol bergambar pesawat+bangunan bertingkat, maka saya tinggal memilih kapan waktu berangkat, waktu pulang, tanggal check in, serta tanggal check out. Itu semua bisa dilakukan dalam satu layar dan klik kurang dari lima kali. Sungguh penghematan waktu yang cukup signifikan. Sangat membantu sekali layanan booking tiket dan hotel dalam satu paket ini. Nanti setelah itu akan ditampilkan sejumlah pilihan maskapai, dan hotel sesuai kebutuhan dan budget.
Tuh, langsung ada pilihan detail inap untuk pesan hotel
Tinggal pilih sesuai kebutuhan, deh

Dan yang namanya satu paket, harganya juga tentu lebih murah daripada kalau beli satu-satu secara ‘ketengan’. Jika dihitung secara detail, kalau pesan paket pesawat + hotel ini bisa hemat hingga 20% tanpa kode promo apa pun. Pengehematan sangat lumayan, bisa ditabung untuk jajan ikan bakar di pinggir pantai nanti. Saya pernah menulis beberapa tips hemat untuk traveling, dan paket tiket pesawat+hotel ini layak masuk dalam list tips tersebut. Metode pembayarannya pun beragam. Debet rekening? Bisa. Kartu kredit? Selama limitnya masih ada, moggo! Pakai cash lalu bayar ke minimarket? Siapa takut! Pakai duit temen dulu nanti diganti? Wah, ini twit saya yang viral tempo hari, di retweet oleh 26.700an netizen (coba follow @kening_lebar). Oke, yang terakhir tidak penting. Dengan layanan beserta benefitnya tersebut, saya bisa bikin paket tour Karimunjawa sendiri tanpa travel agent. Sok atuh dicoba!

Pantai memang selalu memanggil siapa saja yang pernah mengunjunginya untuk kembali. Tak peduli siapa pun, dan di belahan dunia mana pun. Keanekaragaman hayatinya yang hanya bisa disaingi oleh hutan tropis terlalu berharga untuk dirusak oleh sampah dan polutan lainnya. Semoga tidak ada lagi makhluk laut yang hidupnya berakhir dengan lambung penuh plastik. Mari membuang sampah pada tempatnya, supaya liburan ke pantainya makin asyik! Selamat berlibur, dari saya si pecinta penyu, penyanyang paus, penyuka lumba-lumba, pengagum hiu, dan pendamping Mikha Tambayong! =)
Share:

Monday, 5 November 2018

Mendaki Gunung Papandayan, Dulu dan Sekarang


Tahun 2012

Cuaca sudah mendung ketika saya sampai di pasar Cisurupan, Garut, gerbang masuk ke kawasan pendakian Gunung Papandayan. Saya dan ketiga teman sependakian bergegas cari mobil untuk naik ke basecamp untuk mulai mendaki Gunung Papandayan. Tidak banyak pilihan transport untuk naik ke basecamp. Ikut mobil sayur dengan biaya Rp. 20.000 per orang, atau naik ojek dengan harga yang sama. Demi kenyamanan, kami memutuskan untuk naik mobil pengangkut sayur berbentuk kendaraan bak terbuka. Ternyata tidak senyaman perkiraan, sih. jalan yang berliku dan rusak membuat kami jadi waspada mencari pegangan sambil menahan tas keril supaya tidak jatuh. Niat untuk bersantai di bak mobil setelah perjalanan dari tengah malam hingga pagi Jakarta-Garut, musnah sudah. Ketimbang santai-santai, kami lebih memilih menjaga supaya tas tidak jatuh atau badan yang terlempar dari mobil.

Sampai di basecamp, yang belakangan saya ketahui bernama Camp David, kami disambut sebuah gapura tanpa plang tulisan apa-apa, kayu-kayu atapnya terlihat rapuh dan mengesankan bisa roboh sewaktu-waktu. Setelah itu ada tempat parkir sangat luas dengan deretan warung-warung berbentuk gubuk yang berdiri seadanya. Pelataran luas itu pun nasibnya tidak jauh berbeda dari jalan yang kami lalui tadi, rusak dan berbatu.

Gerimis turun ketika kami membayar biaya pendakian yang dipatok seikhlasnya. Selama pendakian hujan deras menyejukkan perjalanan. Butuh waktu tiga jam bagi saya untuk sampai di Pondok Salada, campsite tujuan. Sebuah padang edelweiss luas dan hutan-hutan kecil pohon daun pucuk merah. Terhitung hanya ada dua tenda yang berkemah hari itu.

Di tahun yang sama pula, saya mendaki Gunung Papandayan untuk kedua kalinya. Suasananya masih sama. Hanya saja kali itu saya diberi cuaca cerah dan berkesempatan hiking lebih jauh lagi ke sebuah tempat bernama Tegal Alun. Padang edelweiss di sini beberapa kali lebih luas dari Pondok Salada dan mengingatkan saya akan lembah Surya Kencana di Gunung Gede. Untuk mencapainya, kita harus menaiki medan berbatu yang curam dan licin. Lalu setelah itu masuk hutan yang menyerupai labirin, kabarnya banyak yang tersesat di sini.

Papandayan adalah gunung pertama yang saya daki. Dan walaupun yang pertama itu disambut hujan deras dan badai pada malam harinya, ternyata itu membuat kesan tersendiri bagi saya sehingga saya patut berterima kasih kepada Papandayan. Tanpa pendakian itu, mungkin saya tidak pernah tertarik naik gunung. Catatan-catatan pendakian saya pun di mulai. Untuk beberapa tahun saya tidak berjumpa dengan Papandayan.

Dan…selalu ada kesempatan untuk kembali.

2018 Tahun ini saya masih saja ganteng. Oke, nggak penting. Saya kembali ke Gunung Papandayan bersama teman-teman kantor. Mendaki Papandayan kali ini sedikit lebih ringan karena saya dapat fasilitas pinjam mobil kantor hingga ke Camp David. Dan saya cukup terkejut dengan kemajuan pembangunan di sekitar daerah wisata Pendakian Gunung Papandayan tersebut dibanding enam tahun yang lalu. Lupakan soal jalan jelek dan berbatu, jalan dari Pasar Cisurupan itu kini mulus berlapis aspal. Pemandangannya pun tidak melulu perkebunan dan hutan rimba, di kanan kiri bisa kita jumpai tempat-tempat wisata atau restoran dengan konsep yang menuruti ego milenial, yakni instagramable.

Sebelum sampai Camp David, ada loket pembelian tiket. Biaya untuk pengunjung yang akan berkemah dikenakan sebesar Rp. 65.000. Saya awalnya berpikir, “Wah mahal ya, sama kayak jatah paket internet sebulan.”. Lalu lupakan gapura bobrok nyaris roboh enam tahun yang lalu, berganti sebuah gerbang gagah solid selayaknya pintu masuk tempat wisata yang memang seharusnya dibuat semenarik mungkin. 


Lahan parkiran luas yang dulu bak kota mati berkabut sekarang begitu hidup dengan berbagai warung, penjual makanan, tempat penyewaan alat-alat mendaki gunung, toilet umum yang banyak dan lebih layak, musholla, hingga tempat pemandian air panas. Fafvorit saya, sih, wahana baru berupa menara pandang setinggi tiga lantai. Dari situ bisa melihat pemandangan Kota Garut dan siluet Perbukitan Gunung Papandayan, kalau cuaca cerah, bentuk kerucut Gunung Cikuray juga bisa terlihat.

Jalur pendakian Gunung Papandayan kini pun dipoles sana-sini demi kemudahan pendaki. Beberapa jalur berbatu di kawasan kawah dibuat tangga berlapis semen. Shelter-shelter permanen untuk beristirahat juga banyak dibangun. Ditambah hiasan dengan papan bertuliskan quote-quote penyemangat penuh petualangan. Tanda penunjuk arah pun sangat jelas, sehingga pendaki di Gunung Papandayan bebas memilih rute mana untuk sampai Pondok Salada.

Lalu, bagaimana dengan Pondok Salada? Enam tahun yang lalu, ketika saya mau pipis di tengah malam, saya tidak berani jauh-jauh dari tenda. Bahkan pernah saya pipis sambil memegang salah satu sisi cover tenda, karena saking gelapnya dan tebalnya kabut saya khawatir kehilangan arah dan gagal menemukan tenda. Sekarang jangan khawatir, banyaknya warung-warung yang mendapat pasokan listrik di malam hari lewat genset, dan adanya musholla, suasana malam tidak begitu gelap. Banyak petugas yang patroli juga memastikan kawasan kemah baik-baik saja dan tidak ada api unggun yang lupa dimatikan. 


Dulu pernah ada polemik bahwa Gunung Papandayan akan dikelola swasta. Dan ternyata memang benar, terlihat dari naik secara signifikan untuk biaya simaksi sebesar Rp. 65.000, sekadar informasi, harga segitu termasuk mahal buat simaksi mendaki gunung yang belum masuk kategori taman nasional. Awalnya sih saya apatis, seperti kebanyakan pendaki.

Tapi setelah ke sana setelah perubahan besar-besaran itu, kenyataannya ternayata tidak seburuk bayangan saya. Yang terlintas sebelumnya adalah, harga yang mahal, pungli di sana-sini, dan tata kelola yang kacau pasti terjadi. Pendaki dijadikan sapi perah untuk mengumpulkan keuntungan, aji mumpung karena hobi mendaki gunung sedang digandrungi. Saya salah. Saya harus minta maaf kepada Papandayan. Setelah mengobrol dengan penjaga toilet di Pondok Salada, setelah diambil alih swasta, pengelolaannya menjadi jelas. Lebih transparan. Aturan main bagi para pelaku usaha yang terlibat juga adil. Kekhawatiran saya akan Gunung Papandayan yang akan menjadi tidak terurus sama sekali tidak berujung pada sebuah bukti. Justru banyaknya petugas membuat gunung ini terjaga kelestariannya. Keamanannya juga terjaga karena jalur batu yang berbahaya menuju Tegal Alun sudah ditutup, dan dibuat rute baru yang lebih mudah. 


Pariwisata memang lahan menjanjikan bagi perekonomian. Siapa pun, pasti mau masuk di industri ini. Beragam tanggapan pasti muncul, ada yang mendukung, ada pula yang menentang jika ada pengelola swasta ikut nimbrung. Karena konsekuensinya pasti biaya menjadi mahal karena yang namanya swasta dari zaman Adam Smith main gundu, pasti menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Tapi jika melihat Gunung Papandayan kini, rasanya harga Rp. 65.000 menjadi murah.


Share: