Friday, 11 January 2019

Ke Indianya Belum, Dramanya Sudah

Wah enggak terasa sudah Januari 2019, kayaknya baru sebulan lalu masih 2018. Banyak jalan-jalan dan beberapa trip yang belum saya tuliskan di blog ini, padahal sibuk enggak, pacaran enggak, jadi juru kampanye juga enggak. Intinya mah hidup selow, tapi males!

Tetapi rasanya pengalaman berikut seru juga untuk saya ceritakan di sini. Sekitar awal bulan Desember 2018, saya ikut tur Jakarta Goodguide rute Kuningan. Dalam tur tersebut ada seseorang yang menarik perhatian peserta tur lain. Sosoknya begitu eye catching dengan bentuk muka khas Hindustan berhidung mancung, warna mata kecoklatan dibalik bingkai kacamata, dan rambut pendek tak sampai leher. Untuk ukuran wanita, badannya cukup lurus dan simpel nyaris tanpa lekukan-lekukan. Kulit Asia Selatannya yang coklat bersih berkilau alami.

Kami mengenalnya dengan nama Trupti. Seorang kelahiran India namun berkebangsaan Inggris seperti suaminya. Dia bekerja di salah satu NGO yang sedang ada proyek di Indonesia, untuk mengisi waktu dia mengukuti tur atas saran dari Trip Advisor.

Setelah mengikuti rangkaian tur yang berakhir di Pemakaman Belanda, Menteng Pulo, Trupti mengatakan bahwa dia ingin menjelajahi Kota Tua tapi tidak punya teman. Saya yang beberapa hari dari sekarang mau ke India menawarkan diri untuk menemani, sekalian mau tanya-tanya soal India. Kami berangkat dengan satu lagi teman saya yang ikut, Ocha.

Dari obrolan kami di Commuter Line, Trupti bercerita bahwa India itu luas sekali.

“Kamu tahu, saya sampai sekarang belum pernah ke Taj Mahal. Selain karena saya lebih banyak di Ingris, Ya karena India itu luas banget. Dari Mumbai ke Agra jauh. Jadi ketika ke India saya tidak pernah sempat.”

Dan masih banyak lagi tempat-tempat di India yang belum dikunjungi Trupti. Eh, tapi dia pernah ke Kashmir, salah satu tempat yang nantinya saya kunjungi.

“Ya, saya pernah ke Kashmir, waktu itu bulan madu sama suami saya. Kamu serius Januari mau ke sana? Dingin banget pasti, it must be on peak winter! Tapi pemandangannya juga pasti indah banget, dan kamu mesti coba teh Kashmir. Terbaik di India!”

Sampai di Stasiun Kota Tua tengah hari, waktunya makan siang. Nah ini agak ribet, karena Trupti walau tinggal di salah satu kota besar Eropa, tapi tidak melepaskan budaya dan ajaran agamanya. Dia vegan. Bukan sekadar vegetarian. Mungkin ada yang belum tahu bedanya vegetarian dengan vegan, vegetarian hanya tidak makan daging tok tetapi masih makan daily produk lain yang berasal dari hewan semisal susu, keju, dan telur. Tapi kalau vegan tidak ada toleransi sama sekali, makanan apa pun yang berasal dari makhluk hidup selain tumbuhan mereka pantang.

Nah kan susah cari makanan yang enggak ada unsur hewaninya di Jakarta. Tawarin janur kuning diurap aja apa, nih?

“Gado-gado mau?” Tawar Ocha. 

“No. Saya makan itu terus di hotel.”

Akhirnya kami masuk ke Bakmi GM dengan pertimbangan si Trupti kita pesenin mie jamur. Eh ternyata mie jamurnya enggak bisa dipisah sama ayamnya. Gimana sih, masa misahin jamur ama ayam aja enggak bisa? Gimana mau misahin tawuran anak STM.

“Iya, Mas soalnya jamur sama ayamnya itu sudah diolah dan dicampur.”

Masalahnya Trupti ogah kalau cuma makan mie polos.

“Nasi goreng mau? Makanan kesukaan Obama.”

“No egg?”

Akhirnya setelah ngebujuk dan negosiasi alot sama pramusaji, bisa juga pesan nasi goreng polos tanpa ayam, dan telur. Kami baru saja menurunkan kualitas makanan kesukaan Obama.

Makan selesai. Kami ke museum wayang. Saya senang karena Trupti begitu antusias melihat tokoh-tokoh wayang yang tidak jauh berbeda dengan mitologi kepercayaannya. Tentang Pandawa, Kurawa, Barathayudha, dan perbedaan Mahabharatha versi India dan Jawa.

“Kasihan Dewi Drupadi di Jawa, suaminya cuma satu. Di India dia punya lima, hahahaha!”

Lah? Ngapa ini dia?

Oke, dari Kota Tua kami lanjut ke kawasan silang Monas. Trupti dengan peta di tangannya bersikeras bahwa kita mesti mengunjungi Monas. Okelah kita antar. Di Monas baru sebentar kami berjalan, Trupti yang saat itu berjalan di belakang saya dan Ocha berteriak,

“Guys, HELP!”

Saya dan Ocha menengo ke belakang, terlihat Trupti sudah duduk di tanah dengan isi tas berhamburan. Khawatir itu orang kesurupan setan keder, kami langsung berlari menghampiri. Air mukanya panik.

“My wallet is lost!”

Trupti mengaduk-aduk isi tas. Saya meyakinkan lagi supaya dia memeriksa semua kantong bajunya. Hasilnya dompet merah itu tetap tidak ditemukan. Suasana berubah manjadi tidak enak seketika. Begitu banyak cerita tentang scaming ketika sedang berada di negara lain, dan saya khawatir Trupti berpikiran bahwa dia korban scam. Dan takutnya, dia mencurigai saya dan Ocha.

Untungnya Trupti cukup berpeikir jernih dan tidak mencurigai kami. Karena posisi tasnya tertutup, jadi mana mungkin ada orang yang nyopet, kecuali itu orang punya kemampuan sulap kayak Jesse Eisenberg di film Now You See Me. Jadi kemungkinannya dompetnya jatuh waktu dia ambil uang untuk bayar tiket Transjakarta.

Kami pun membuat laporan kehilangan ke Transjakarta, dan petugasnya berjanji akan mengabari jika ada laporan penemuan sebuah dompet berisi kartu kredit, citizenships ID, beberapa kartu nama, uang 800.000 IDR, dan 21 USD.

“Saya telepon hotel saya, dan suami saya dulu untuk mengabarkan ini.”

Semenit.

Dua menit.

“Ya, ampuunnnn…”

Trupti menunjukkan layar ponselnya. Kelap-kelip dan tidak merespon tiap sentuhan di layarnya. Rusak. Yelah, belum dirukiyah kayaknya nih, apes bener Neng.

“Shit, stupid, fuck!” Makinya. Ternyata orang rendah kolesterol kalo lagi emosi mah sama aja ama yang darah tinggi.

Kami menawarkan untuk mengantarnya ke hotel dengan naik taksi online. Trupti setuju. Sepanjang perjalanan dia nangis, dan kami menghiburnya.

“Masih untung kan di situ nggak ada paspor kamu.”

“Iya, masih untung kamu pergi ngga sendirian.” Begitulah penghiburan khas orang Indonesia, “masih untung”.

Kami tiba di hotel tempat Trupti menginap di bilangan Kuningan. Gile, hotel bintang lima yang isinya kebanyakan ekspat, OB sama cleaning service-nya aja Bahasa Inggrisnya jauh lebih jago dari saya. Trupti memaksa kami untuk mampir dan ngopi di restoran hotel.

Entah rejeki atau bukan, di penghujung hari itu saya bisa menikmati coffee pack termahal. Pisang goreng seharga tujuh puluh ribu rupiah, dan secangkir cappuccino. Sebelum pulang, saya berjanji ke Trupti akan mengirimkannya foto-foto India, kampung halamannya yang sejati.

Namaste! 



Share: