Tuesday, 9 April 2019

Kesan Setelah Mencoba Naik MRT Jakarta

Ketika travelling ke luar negeri, hal yang membuat saya excited adalah mencoba transportasi umumnya. Khususnya yang tidak ada di Indonesia. Di Indochina ada tuktuk, di India ada auto ricksaw, lalu di Malaysia dan Singapura ada MRT.

Dulu sempat senang tuh waktu proyek monorail di Jakarta digadang-gadang akan menjadi solusi kemacetan ibukota yang sangat semrawut kayak rambut Kunto Aji belom keramas dua siklus revolusi tata surya. Nyatanya, angan-angan saya bisa naik moda transportasi yang seperti dimiliki negara-negara maju tersebut harus tertunda.

Dan pada bulan Maret 2019 yang lalu, akhirnya Indonesia punya angkutan umum massal berbasis rel dengan spesifikasi ‘wah!’ bernama MRT (In English= Mass Rapid Transit, Bahasa Indonesia= Moda Raya Terpadu). Kenapa ‘wah!’? Karena sebelumnya, MRT ini dalam mindset saya hanya dimiliki oleh negara-negara maju.

Peresmian MRT menimbulkan euforia luar biasa bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Berbondong-bondong mereka menjajal seunggul apa transportasi baru berplatform rel ini. Saya pun tidak mau ketingglan, dong, biar tidak dikucilkan dari pergaulan dan tatanan sosial. Sewaktu masa percobaan gratis, ponsel saya sudah seperti Stasiun Manggarai, isinya foto-foto kereta MRT yang diupload kawan-kawan media sosial saya.

Saya baru sempat mencoba MRT ketika masa percobaan gratisnya sudah habis. Jadi mesti bayar. Saya naik dari stasiun Dukuh Atas hingga ke Stasiun Terakhir di Lebak Bulus. Jarak terjauh harga tiket sekali jalannya Rp. 14.000.

Setelah saya coba, saya menemukan dua keunggulan MRT yang paling menonjol di antara moda-moda angkutan umum lain di Jakarta.

1. Ketepatan, dan Kecepatan Waktu Tunggu dan Waktu Tempuh
Menunggu MRT rasanya tidak perlu berlama-lama. Jarak antar satu kereta ke kereta berikutnya tidak sampai 10 menit. Ini penting karena bisa menghindari penumpukan penumpang. Tetapi yang paling krusial adalah waktu tempuh, dari Dukuh Atas sampai Lebak Bulus tidak lebih dari setengah jam. Harusnya, harusnya loh ya, ini menjadi daya tarik cukup signifikan bagi mereka yang mau pindah dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum.


2. Bebas Hambatan 
Di tengah banyaknya keluhan pengguna Commuterline yang sering keretanya tertahan lama karena harus mengalah kepada kereta bandara, dan kereta jarak jauh, atau adanya gangguan sinyal, MRT datang memberi harapan bahwa masalah itu tidak akan terjadi. Karena MRT tidak berbagi jalur dengan kereta lain, dan teknologinya lebih canggih. Kalaupun berdesak-desakkan, setidaknya MRT lebih nyaman dibanding Commuterline.

Lalu apa keluhannya setelah menggunakan MRT? Nah, kemarin ketika saya mencoba MRT ini, saya juga membuat sebuah video pendek. Isinya mengenai pendapat seorang penumpang MRT yang mana teman saya sendiri. Coba diklik videonya, dan jika berkenan disubscribe juga channel Youtube-nya. Hehehe. 


Intinya, saya berharap kedepannya MRT bisa mengubah pola kebiasaan masyarakat dari menggunakan kendaran pribadi ke MRT. Apalagi kalau nanti MRT menambah jalur, wah, pasti lebih seru. Jalur yang menggurita dan integrasi dengan transportasi umum lain, rasanya cukup mengurangi kemacetan Jakarta secara massif.
Tuktuk di Indochina




Share: