Wednesday, 31 July 2019

Pertanyaan-Pertanyaan Ketika Mendaki Gunung

Naik gunung bisa jadi kegiatan jalan-jalan yang efektif untuk refreshing. Menjauhkan diri dari hiruk pikuk, mengasingkan pikiran dari rutinitas, dan memberi paru-paru udara murni segar baru adalah hal yang diincar jika kita memutuskan untuk naik gunung. Butuh effort lebih memang untuk kegiatan satu ini. Tas carrirer yang berisi aneka peralatan camping (yang tentu tidak ringan), dan fisik yang prima dibutuhkan agar mendaki gunung lancar dan menjadi ‘pelarian’ yang menyenangkan.

Hal lain yang membuat naik gunung menyenangkan adalah, intens-nya komunikasi bersama teman-teman sependakian. Di gunung, umumnya tidak terjangkau sinyal ponsel, sehingga komunikasi murni dari obrolan tanpa terdistraksi sosial media atau game online. Bercanda, bicara, hingga saling sapa betul-betul terjadi secara genuine.

BACA JUGA: NAIK GUNUNG CIREMAI VIA LINGGARJATI

Idealnya, naik gunung memang sampai puncak. Tetapi bagian paling menariknya adalah justru di jalur pendakian menuju puncak. Di sini terjadi lebih dari separuh interaksi antarteman mendaki, atau pendaki lain yang kebetulan bertemu. Berbincang sambil bercanda menjadi senjata utama supaya lelah tidak terasa dan sekejap lupa jauhnya jarak tempuh. 

Kalau sudah lama berjalan, dan lelah mulai terasa, biasanya timbul pertanyaan-pertanyaan baik dari sendiri maupun teman sependakian. Ada beberapa pertanyaan dari yang paling logis dan bisa dijawab, hingga yang absurd. Berikut contoh-contohnya:

1. Mencari Barang

Biasanya, sebelum memulai pendakian, dilakukan final checking dan repacking barang bawaan. Siapa yang membawa apa, dan siapa yang bertanggung jawab atas apa. Dibriefing biasanya lancar-lancar saja. Tapi begitu sudah berada di jalur pendakian, pasti ada saja yang bertanya mencari sesuatu,

“tisu basah di tasnya siapa, ya? Mau boker, nih!”

Atau,

“kompor mana, ya, kompor? Berenti dulu, nyeduh kopi enak, nih!”

Atau,

“kayaknya tadi gue liat ada yang bawa tumpeng gede kumplit ama perkedel, telor belado, orek tempe, ama ayam goreng srundeng, bagi-bagi dong!”

“ITU MAH LU MIMPI DATENG KE KHITANAN ANAKNYA MANTAN LU!”

2. Saling Tuduh
Udara pegunungan yang dingin, membuat badan rentan kemasukan angin. Bisa ditebak apa yang terjadi. Di antara anggota mendaki pasti ada saja yang buang-buang angin baik yang secara terang-terangan maupun yang secara kalem tak bersuara namun sanggup membuat pohon-pohon disekitar layu sementara. Kalau yang terang-terangnya sih tidak begitu masalah, karena bersuara dan pelakunya langsung ketahuan, paling-paling kena jitak anggota yang lain. Nah yang bahaya yang buang dalam diam ini, bisa menimbulkan pertanyaan yang merembet jadi percekcokan karena saling tuduh,

“anjir, siapa ni yang kentut?”

“Bukan gue. Si Topik kali, noh, baunya dari depan!”

“Apaan, baunya kayak lele mati gini, Burhan pasti nih tadi gue liat sebelom naek dia makan pecel lele.”

“Sumpah, bukan gue! Ini sihbau-baunya ampasnya ngikut, nih, fix si Toto ini mah. Dari tadi dia ribut pengen berak. To, wei, cebok lu!”

3. Tanya Tujuan
Ini biasanya ditanyakan kalau perjalanan sudah setengah jalan. Rasanya sudah berjalan lama namun tujuan belum menunjukkan tanda-tanda akan tercapai. Sebagai manusia biasa, rasa frustasi biasa menghinggapi. Anggota tim pendakian pasti mulai resah dan banyak bertanya,

“masih jauh gak, sih?”

Atau,

“pos tiga masih berapa lama lagi?”

Atau,

“ini naek gunung apa mempertahankan hubungan LDR beda agama, sih? Capeknya sama…”


4. Pertanyaan Absurd

Namanya juga absurd, pertanyaan-pertanyaan ini tidak terduga. Biasanya terlontar ketika sudah benar-benar capek, otak dan kaki sudah tidak sinkron. Bahan obrolan sudah habis, dan miskordinasi antarsaraf membuat orang bertanya sekenanya,

“entar sampe atas nge-gofood mekdi enak kali, ya?”

Atau,

“bebek, bebek apa yang kalo ketemu ayam, salim?”

Atau,

“kita udah berjalan kaki enam jam, ketinggian gunung 2.800an meter, kemiringan lereng sekitar 45 derajat, siapakah yang mandiin kudanya Ken Arok?”

Atau,

“pada tanggal berapakah Konstantinopel berhasil direbut pasukan Muslimin?”

5. Kok Bisa Jalan-Jalan Melulu?
Pertanyaan ketika naik gunung ini terjadi kalau sudah santai di depan tenda sambil menyeruput kopi atau teh manis hangat, atau sambil menikmati Oreo ketika sudah di puncak.

“Yos, elu kok bisa jalan-jalan mulu, sih? Emang duit lu banyak, ya?”

“Ya nggak juga, kalo duit gue banyak mah gue nggak naek gunung, tapi mendingan naek haji.”

Sebetulnya jawaban serius atas pertanyaan tersebut bisa panjang, sih. Karena memang ada banyak poin. Kalau ingin tau jawaban seriusnya, bisa loh datang ke acara TALKACTIVE, Jalan-Jalan Jadi Cuan. Ini event garapannya Fitand Co Space. Nanti saya dan kawan saya Bena, akan share bagaimana caranya mengembangkan hobi jalan-jalan hingga bisa menjadi hobi yang menghasilkan. Bisa tanya-tanya saja dulu dengan Mbak Tika di 0858 8202 3823. Datang, ya. Tiada kesan tanpa kehadiranmu. 
Demikian lah daftar pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan jika sedang mendaki. Teman-teman punya pertanyaan lain waktu naik gunung? Coba dishare di kolom komen berikut dengan kunci jawabannya, siapa tau berguna. Selamat mendaki =)

Share:

Monday, 22 July 2019

Cerita Tentang Bule di Luar dan Dalam Negeri

Rasanya hegemoni bule sebagai ‘warga’ ekslusif yang selalu terlihat superior entah ketika mereka sebagai turis, atau ekspat pekerja, akan segera berakhir. Atau setidaknya dikotomi bahwa mereka spesial, bahkan, mempunyai privilege lebih dibanding warga negara Indonesia harus segera disudahi.

Apalagi belakangan banyak berita baik di portal berita daring maupun maupun kejadian viral di media sosial mengabarkan betapa mengganggunya bule yang terlantar, hingga mengemis ketika plesiran di sejumlah destinasi wisata tanah air. Modusnya berbeda-beda, mulai dari mengemis hingg jadi tour guide ilegal. 


Sepengalaman saya, biasanya mereka datang negara maju ke negara berkembang yang secara hukum peraturan keimigrasian dan penegakkan hukumnya lebih longgar. Negara berkembang, seperti Indonesia, biasanya menetapkan barrier entry yang tidak terlalu ketat bagi negara-negara Eropa, Australia, Asia Timur, dan Amerika Utara sebagai pasar utama produk pariwisata. Mereka masuk Indonesia dengan visa turis, lalu party-party, belanja-belanja, hidup bak royal family yang sedang tetirah, lalu kehabisan uang, dan akhirnya menyalahgunakan izin wisata dengan menjadi pencari uang untuk pulang, bahkan gilanya, ada yang terang-terangan bilang untuk melanjutkan liburannya.

Kalau sudah kehabisan uang, aneh-aneh memang tingkah bule ini. Bukan hanya di Indonesia. Saya beberapa kali mengalami dan menyaksikan sendiri bagaimana ajaibnya bule-bule kere bertingkah ketika kehabisan uang.

1. Di Siem Reap, Kamboja
Pertama kali masuk hostel di Siem Reap saya langsung disambut masalah aliran listri hostel yang padam. Akibatnya saya check-in dengan manual, cuma dicatat di buku panjang mirip buku catatan kasbon di warung. Saya mendapat bunk bed di seberang kasur seorang pelancong dari Spanyol. Dari awal saja ini bule udah banyak tingkah, suka keluar masuk hostel dengan seorang perempuan yang berbeda. Suatu pagi ketika saya bersiap packing, dia menyapa saya. Ramah.

“Hi, how are you? Where you from?”

“Fine. Indonesia. You?”

“Mallorca.”

“Spain. Awesome!”

“Indonesia too…”

Chitchat basa-basi itu nyaris menjadi sebuah diskusi menyenangkan sebelum,

“My friend…could you lend me some money?”

“Sorry?”

“Just 25 dollars…”

TAEK!

LU KIRA GUE NAHAN LAPER DARI TADI KARENA PUASA SENEN KEMIS ATAU DIET MAYO? KARENA NGIRIT, SUPRIYATNA!

2. Di Pnom Penh, Kamboja Masih di Kamboja. Ini saya yang pilih penginapan atau memang ini negara punya masalah serius soal perturisan, sih? Ketika pengelola hostel mengantar saya ke sebuah dormitory room, dia mengingatkan saya supaya tidak mengganggu seorang Amerika yang tertidur di kasur paling pojok. Menurut si pengelola, turis tersebut sedang sakit. Okelah, not big deal. Saya pun keluar untuk eksplore sekitar Pnom Penh. Ketika kembali ke hostel, di kamar hanya ada saya dan si bule sakit. Bedanya, dia mengeluarkan suara-suara mengerang seperti orang demam. Ya sudahlah, namanya juga orang sakit. Saya pun bersiap tidur dengan starter pack andalan, buka baju, pakai celana kolor, dan streaming film sambil menunggu kantuk datang.

Tiba-tiba pintu kamar dibuka dengan cara yang bisa bikin orang mati bangun lagi karena kaget. Saya yang sedang asyik nonton dengan telinga tersumbat earphone saja terlonjak saking kagetnya. Beberapa petugas berseragam bertampang bule masuk menyergap. Dalam hati saya bertanya-tanya, “SALAH APA NIH GUE SAMPE DIGEREBEK CIA GINI? APA KARENA GUE TERLALU MIRIP LENARDO DI CAPRIO?”

Ternyata badan telanjang dada dan perut bergelambir lemak saya sama sekali tidak menarik perhatian petugas-petugas tersebut. Mereka menyambangi bule sakit di pojok ruangan. Terjadi lah perdebatan dan adu argument antara si bule dan petugas. Ternyata petugas ini adalah utusan dari kedutaan Amerika Serikat untuk menjemput paksa si bule. Jadi bule ini sudah lama overstay di Kamboja, tidak kuat membayar kamar, dan kepolisian Kamboja tidak berani menangkapnya karena memang tidak ada pelanggaran hokum yang mengharuskan mereka menggunakan wewenangnya. Maka dari tu pihak hostel menghubungi US Emabssy.

Itu bule awalnya keukeuh tidak mau diciduk petugas kedutaan. Tetapi bak orang tua yang lagi nakut-nakutin anaknya yang ogah makan dengan cara, “Ayo diabisin makanannya, kalo susah nanti mama laoprin pak Polisi loh biar kamu ditengkep!”, pihak kedutaan pun memberi opsi bagi si bule, mau diserahkan ke Polisi Kamboja karena merugikan orang lain, atau ikut mereka untuk siap-siap di deportasi. Bijak bagi si bule karena dia pilih opsi ke dua. Pulang gratis, coy!

3. Masih di Pnom Penh, Kamboja

Masih di hostel yang sama. Jangan tanya ada masalah apa ini hostel sama bule-bule, kok banyak amat masalahnya, saya juga bingung. Jadi ketika saya baru check-in, di meja lobby yang bisa merangkap sebagai bar ada seorang bule yang sangat tekun memperhatikan laptop. Tanpa bermaksud mengintip, sekilas saya melihat dia sedang main game kartu.

Sore ketika saya ingin berjalan-jalan dan melewati lobby itu bule masih dengan posisi yang sama, teguh dengan permainan di laptopnya. Saya pulang menjelang malam, dia masih ada di sana tidak bergerak. Kalau ada orang yang tidak waspada, mungkin si bule sudah dikira patung hiasan hostel.

Saya check-out sehabis subuh karena harus mengejar bus pertama menuju Laos. Saya hampir berteriak karena di dalam gelapnya lobby ada sosok tinggi yang duduk di depan sebuah layar menyala. Cahaya remangnya menerangi wajahnya dari bawah, jadi mirip setan-setan di film Suzanna tapi ini versi bule. TERNYATA ITU BULE YANG SAMA DENGAN YANG SAYA LIHAT SEJAK CHECK-IN KEMARIN! DENGAN POSISI YANG SAMA! Untung yang jaga lobby sudah bangun lalu mengingatkan saya supaya jangan mengganggu bule itu, karena gampang marah.

“Dia lagi main poker online, berjudi. Kalau kalah suka teriak-teriak.”

Ya Allah, main judi aja jauh-jauh amat ke Kamboja. Lebih baik di rumah aja, ajak siapa gitu taruhan bola, yang kalah harus pindah ke Pluto naik bajaj Blok M.

4. Di Yogyakarta, Indonesia

Ini baru sekali saya alami. Jadi ketika terakhir saya ke Yogya saya menginap di bilangan Prawirotaman. Sebuah daerah yang memang secara de facto adalah pemukiman bule ekonomis yang sedang berlibur di Yogya. Di sana banyak bar yang menjadi tongkrongan bule minum-minum hingga dugem sampai pagi.

Saya menginap di kamar dormitory, ada bule yang baru masuk kamar jam lima pagi. Jam tersebut bagi saya, dan bagi manusia normal pada umumnya, adalah awal dari seluruh kegiatan. Jadi ya mesti bongkar-bongkar tas, ganti baju, budidaya marmut, hingga packing. Karena ini dormitory, semuanya dilakukan di atas kasur. Si bule yang baru pulang teller ini kayaknya ngantuk berat, kepengen langsung tidur tapi terganggu dengan suara-suara yang saya timbulkan. Dia menegur. Oke, saya mengalah dan meminilmalisir bunyi dari kegiatan saya. Tapi sekuat apa pun saya berusaha, suara-suara tetap ada. Ya menurut lo, gimana coba pake baju tanpa menimbulkan suara?

You know what si bule ngomong apa? 
“HEI YOU! GO OUTSIDE!”

DIUSIR DONG!

Sedikit menahan emosi saya keluar dari kamar. Untung ini bukan zaman perang grilya, kalau iya saya sudah cari bambu runcing. Jadi begini rasanya dijajah di negeri sendiri?

Lalu saya cerita ke petugas hostel, bukan complain karena ini sama sekali bukan kelalaian mereka, bahwa ada kelakuan bule yang mentalnya kayak Daendels. Ya namanya juga dormitory, satu kamar ada beberapa orang. Harganya murah karena ada privasi yang sedikit dikorbankan, kalau mau betul-betul tenang ya nginep sono di private room. Toh saya juga sebetulnya tidak berisik, tidak teriak-teriak, tidak ngundang Elvi Sukaesih buat bikin orkes dangdut.



Demikian segelintir kisah-kisah saya dengan bule yang ajaib-ajaib. Saya cukup gelisah dengan beberapa pemberitaan tentang bule ini hingga muncul istilah begpacker. Ernest Prakasa dalam sebuah cuitannya bilang kurang-lebih begini, “sudah saatnya kita tidak merasa inferior dengan menganggap turis bule itu spesial dan kita di bawah mereka.”. Sulit memang mengubah mental feodalisme yang sudah tertanam sejak 350 tahun kita dijajah Belanda.

Untuk bidang pariwisata, saya cukup bersyukur, tidak pernah rasanya terdengar backpacker asal Indonesia terkatung-katung di negara orang. Mungkin sulitnya visa bagi WNI ke negara lain bisa disikapi positif dengan berpikir bahwa dengan begitu kita jadi bisa mempersiapkan segala sesuatunya sebelum liburan, termasuk finansial. Bahkan untuk bersenang-senang pun kita butuh persiapan. Selamat berlibur, semoga tidak bertemu bule yang aneh-aneh =)
Share:

Monday, 15 July 2019

Otu Hostel: Penginapan di Yogyakarta Dengan Pelayanan Maksimal

Terima kasih Tuhan, atas makanan-makanan enak dan tempat bermalam yang nyaman selama perjalanan…



Liburan ke Yogya tuh memang sudah paling tepat kalau lagi suntuk tapi butuh jalan keluar singkat untuk rehat dari kejaran rutinitas menguras energi. Kota ini punya paket lengkap wahana yang dibutuhkan untuk rekreasi, mulai dari alam, sejarah, hingga budaya. Jaraknya yang tidak terlalu jauh dari Jakarta menjadi nilai plus tersendiri karena bisa dikunjungi di akhir pekan.

Kalau ke Yogya, selalu kepikiran untuk cari penginapan dekat Malioboro. Rasanya kebanyakan orang begitu. Alasannya karena biar mudah kalau mau ke mana-mana. Lokasi yang terletak di pusat kota memang memungkinkan Malioboro memiliki segala akses kemudahan tersebut. Di tambah lagi kawasan ini memang sejak dulu ditetapkan sebagai poros ekonomi kesultanan dengan Pasar Bringharjo sebagai inti. Jadi soal keramaian dan kemasyhuran, Malioboro adalah market leader bagi target pasar para pencari tempat bermalam ketika mereka mengunjungi Yogyakarta.

Namun belakangan, industri properti berupa penginapan murah di Yogyakarta bukan hanya melulu soal Malioboro. Semakin banyaknya destinasi-destinasi wisata baru yang ditemukan, kuliner-kuliner penantang gudeg dengan signature taste Yogya baru banyak bermunculan, dan tentu saja kekuatan media sosial membuat sektor pariwisata meningkat pesat. Penginapan-penginapan pun menjamur.

Bicara soal Yogyakarta, bagi sebagian orang adalah biaya hidupnya yang relatif bersahabat. Harga-harga komoditas yang tidak terlalu mahal namun bisa mendapatkan pengalaman premium, adalah hal utama yang ditawarkan Yogyakarta sebagai tujuan destinasi wisata. Penginapan pun banyak yang harganya terjangkau. Sebagai komponen paling paling penting dalam akomodasi saat traveling, penginapan murah ini sangat menolong saya yang menganggap penginapan dengan harga di atas dua ratus ribu rupiah per malam saja sudah masuk kategori mahal.

Kalau ingin cari penginapan dengan atsmosfer yang berbeda dengan Malioboro, datanglah ke kawasan Parawirotaman, Yogyakarta. Berbeda dengan Malioboro dengan jejeran batiknya, maka di kawasan ini berjejer caf-café, bar, dan tentu saja dengan penginapan amat sangat terjangkau dengan pemandangan bule-bule berlalu lalang. Prawirotaman seperti Kuta di Bali atau Khaosan Road di Bangkok, yang sebagian besar populasinya warga negara asing.

Ada satu penginapan unik di kawasan ini bernama Otu Hostel, cocok bagi yang mencari penginapan murah di Yogyakarta tanpa harus mengorbankan kenyamanan. Dan rasanya ini juga penting di era media sosial sekarang ini, Otu Hostel sangat paham bahwa berdandan supaya ‘pantas’ masuk feed Instagram netizen adalah sebuah kewajiban bagi kebanyakan bisnis.

Setelah masuk sebuah gang di sisi jalan utama Prawirotaman dan melewati beberapa belokan di tengah-tengah rumah penduduk, dari depan pagar sudah terlihat meja resepsionis yang langsung terhubung dengan gathering room dengan bantal kasur, dan kolam renang outdoor. Konsep terbuka tanpa banyak sekat-sekat dan tembok nampaknya menjadi pilihan hostel dengan cat dominan putih ini, menjadikan kesan luas dan bebas sangat terasa begitu kita melewati meja resepsionis.

Di sisi-sisi kolam renang ada kursi-kursi panjang untuk berjemur atau sekadar nonton orang berenang. Di bagian yang tertutup atap ada area santai dengan meja dan kursi kayu bergaya tradisional dengan hiasan dua sepeda ontel yang semakin menguatkan kesan etnisnya. Di dindingnya banyak typografi-typografi menarik dan mural yang bisa digunakan sebagai spot foto. Disediakan pula dapur yang bisa digunakan untuk masak bagi tamu, kopi dan teh gratis selama meginap, dan sebuah PC untuk browsing internet. Wifi? Kenceng, Bro!

Penginapan di Yogyakarta satu ini memiliki hostilitas prima dengan petugas-petugas yang ramah dan sangat helpful, mereka berjaga 24 jam. Karena di kawasan ini banyak bule-bule yang kalau malam dugem dan baru pulang menjelang pagi, jadi pelayanan 24 jam ini memang diperlukan. Mau sewa motor atau mobil tinggal bilang, arrange tur bisa, bikin sarapan oke, bangun candi juga asal kuat bayarnya kayaknya dikerjain juga. Soal kebersihan dan kerapihan pun Otu Hostel ini sungguh menjaganya, ada area untuk menjemur pakaian dan handuk.

Menuju ke kamar, saya menginap di dormitory room berisi 6 orang dengan bunk bed. Beberapa penginapan di Yogyakarta juga sudah mulai banyak yang menyediakan dormitory, tetapi ada sedikit yang membedakan Otu Hostel ini dengan yang lain. Yang pertama, di tiap tempat tidurnya ada gorden penutup. Jadi walaupun tidur rame-rame dalam satu ruangan, privasi masih bisa terjaga. Untuk tamu wanita berhijab tidak perlu khawatir berganti jilbab atau membukanya ketika tidur. Yang ke dua, nah ini yang asyik, di setiap sisi kasur ada semacam perosotan supaya yang tidur di kasur atas tidak perlu angkat-angkat barang kalau mau di bawa turun. Bisa juga sih untuk orang turun, tapi mesti hati-hati. Saya mencoba dan hard landing yang menyebabkan tulang ekor lumayan nyeri. Hehehe. 






Saya sunguh memahami kegelisahan sobat kelas menengah yang membaca artikel ini dan mencari-cari informasi harga, I feel you. Saya waktu itu booking di salah satu travel agent daring mendapat harga 90 ribu rupiah per malam per orang untuk dormitory room. Tersedia juga private room sngle, double, dan family room. Kalau dicek harga berkisar antara 100-400 ribu rupiah.

Jadi dengan harga 90 ribu rupiah itu, saya dapat apa saja?

- Kasur bunk bed dengan colokan, lampu tidur, dan selimut.

- Handuk.

- Wifi

- Loker (ini optional, kalau mau pakai kita harus deposit sebesar lima puluh ribu rupiah)

- Dapur buat nyeduh mie instan

- Teman baru dari berbagai negara (80% turis di Prawirotaman adalah WNA)

- Kopi dan teh gratis

- Berenang sampe kisut

Lumayan banyak untuk ukuran harga 90 ribu. Jika memang tertarik langsung saja booking, atau datang langsung ke Jl. Prawiro Taman I Gang Batik Gringsing No. 517, Brontokusuman, Mergangsan, Brontokusuman, Kec. Mergangsan, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55153. Naik ojol dari Stasiun Lempuyangan atau Tugu kira-kira lima belas menitan. Ada dua tempat kuliner hype di sekitar Otu Hostel ini, yaitu Tempo Gelato, toko es krim beraneka rasa mulai dari yang umum seperti cokelat hingga yang aneh seperti rasa kemangi atau chili chocolate. Yang kedua adalah Via Via restoran, tempat makan yang mengusung menu sehat tanpa MSG ini pernah ngetop karena adegan film Ada Apa Dengan Cinta 2,

“Rangga, yang kamu lakukan ke saya itu jahat!”

“Maaf Cinta, aku kan cuma mau kirim paket waktu itu di JNE.”

“Aku gak suka ya kamu ngasih-ngasih alamat kamu ke cewek lain!”

“Iya deh nggak, yang aku kasih alamat emailnya Mark Zuckerberg, kok.”

-TAMAT- 
Post Credit Scene:

Share:

Thursday, 11 July 2019

Traveling ke Kashmir, India: Menginap di House Boat, Hangat di Musim Dingin

Pergi ke Kashmir akan menjadi perjalanan paling mengesankan dalam hidup saya. Semoga bukan perjalanan menakjubkan yang terakhir, tapi saya pastikan, kalaupun nanti saya mengalami sebuah perjalanan hebat lagi di lain waktu, itu tidak akan menggeser Kashmir dari daftar tujuan paling memorable dalam curriculum vitae traveling saya.

Di Kashmir, untuk pertama kalinya saya yang makhluk tropis tulen ini akhirnya bisa merasakan musim dingin. LIHAT SALJU! Awal tahun adalah puncak musim dingin di sana, tebal saljunya bisa lebih dari tinggi orang dewasa. Di Kashmir, saya merasakan suhu hingga minus dua belas derajat celcius, rasanya kepengen mandi pakai kopi torabika yang baru diseduh.

Sepanjang perjalanan dari bandara Kota Srinagar menuju Dal Lake, sebuah danau besar di kawasan Kashmir, warna dominan putih mengcover tiap petak ladang, atap rumah, hingga batang-batang pohon tanpa daun. Para penduduk dan tentara terlihat tidak banyak bergerak dan memilih mencari kenyamanan dalam pakaian hangat mereka.

Tujuan saya adalah Dal Lake. Di sana lah saya akan menginap, menghabiskan dua malam di bekunya udara Kashmir. Dal Lake menjadi salah satu faktor yang membuat saya cukup antusias. Karena penginapan saya akan berada di tengah-tengahnya berbentuk perahu.

Di tepian danau ada berjejer gat (dermaga) tempat perahu-perahu bersandar untuk mengantarkan penumpang dari dan ke house boat mereka. Biasanya harga menyebrang sudah termasuk dengan harga menginap. Tetapi, kalau ingin menyebrang di luar pergi-pulang ke penginapan, harganya sekitar 15-20Rs.

Perahu yang saya tumpangi bersandar di gat nomor 7, sesuai dengan alamat yang diberikan pemilik house boat. Awalnya saya sempat khawatir akan tersasar mengingat banyaknya dermaga, namun ternyata patokannya cukup mengingat di gat nomor berapa. Semua driver atau travel agent mana pun di Kashmir pasti tahu ke mana harus mengantar atau menjemput.

Pemilik perahu mengendalikan kendaraan yang kami tumpangi dengan sebilah kayu panjang. Perahu kayu kecil itu sudah dipersiapkan menyambut musim dingin. Di deknya terdapat kursi lapis beludru dan selimut. Saya merasa lebih keren dari Sultan Persia saat itu. Cewek-cewek cantik yang naburin bunga mana, nih?

Perahu berjalan pelan namun pasti, seolah ada autopilot yang membuatnya tidak salah memilih jalur di antara gang-gang house boat yang rapat. Setiap berpapasan dengan perahu lain, pemilik dari perahu lain itu menyapa kami. Keramahan ala Khasmir yang membuat musim dingin di sana terasa hangat. Dan ada beberapa perahu yang mendekat untuk sekadar menawarkan saffron, bunga khas Kasmir yang konon katanya memiliki banyak manfaat, harganya mahal.

Saya menginap di sebuah house boat milik Kashmiri bernama Shani. Sebuah perahu kayu berlambung besar dengan dek yang di modifikasi menjadi beberapa ruangan untuk dapur, kamar tidur, gathering room, hingga toilet.

Roti Kashmir dan omelet menjadi menu makan siang saya ketika baru sampai. Penjaga house boat dengan telaten mengenalkan tempat menginap saya soal letak ruangan-ruangan yang mungkin saya perlukan, memberitahu password wifi, mengajari bagaimana cara mengaktifkan pemanas air di toilet, dan menunjukkan arah kiblat karena mereka tahu saya dari Indonesia dan muslim.

Saya menginap di kamar untuk ukuran twin bedroom. Bertumpuk-tumpuk lapisan selimut terbuat dari wol Kashmir disiapkan guna menyelamatkan saya dari suhu minus tujuh saat malam datang. Kasur empuknya juga dilengkapi oleh heater. Interiornya yang dominan merah marun menambah kesan hangat suasana di dalam. Masih kedinginan? Tenang saja, ada alat pemanas tradisional berupa tungku berbentuk tabung alumunium untuk membakar kayu. Sekadar informasi, fasilitas ini tidak akan ditemui jika menginap di hotel konvensional atau berbintang. Ketika malam tiba, duduk di dekat tungku ini sambil menikmati secangkir teh Kashmir sungguh membuat udara dingin menjinak.

“This is for you, the best tea in the world!” Begitu kata mereka ketika menyajikan teh.



Dari kamar, tidak bisa memandang ke luar jendela karena house boat yang berhimpitan. Jadi kalau mau melihat pemandangan Danau Dal, pergi lah ke balkon di bagian belakang house boat. Voila, komplek perumahan perahu dengan latar perbukitan yang seperti ditaburi gula halus berwarna putih siap menemani waktu minum teh atau kopi.

Berapa harga per malamnya? Ada beberapa pilihan untuk ke Kasmir. Jika kita memilih untuk memakai travel agent, biasanya harga sudah masuk di dalam harga paket wisata. Paket paling umum dan ekonomis adalah 17.500Rs untuk tur India dengan rute Jaipur, Agra, New Delhi, dan Kashmir. Tetapi jika memutuskan untuk datang sendiri pun tidak masalah, harga per malam di house boat berkisar antara 100-200 ribu rupiah/pax/night. Tergantung lokasi dan musim. Karena tiap musim memerlukan treatment berbeda bagi pengunjung. Contohnya kalau musim dingin mereka perlu menyiapkan kayu bakar dan pemanas tambahan.

Kekurangan menginap di house boat Danau Dal, Kashmir, ini adalah listriknya yang kadang-kadang mati karena daya yang harus banyak berbagi dengan house boat lainnya. Tetapi biasanya terjadi di malam hari ketika kita nyenyak tidur, itu pun tidak lama. Jadi jangan khawatir untuk mengisi daya gadget semalaman untuk persiapan tur esok hari.

Kashmiri (sebutan untuk orang Kashmir) sangat ramah. Jangan sungkan untuk bertanya. Jika bingung mau ke Kashmir, silakan kontak Kashmiri yang saya temui selama di sana. Mereka sangat helpful. “We aren’t Indian, we are Kashmiri.”. Selamat berlibur, di surga dari bumi =)

Shani : +91 99064 68482

Hilal : +91 70069 70151

Idris : +91 90184 56683


Share:

Friday, 5 July 2019

Mendaki Gunung Ciremai Via Linggarjati, Dilematis!

“Kalo mau naek gunung beneran, coba ke Gunung Ciremai lewat jalur Linggarjati”

Ini kedua kalinya saya ke Gunung Ciremai. Yang pertama punya cerita cukup spesial karena saya dan tim mendaki disambut hujan deras di jalur Palutungan, dan ada anggota yang sudah berumur 60-an. Semua pakaian yang saya bawa basah waktu itu, padahal sudah saya lapisi plastik dan tas pun rasanya rapat terlindung rain cover. Bisa dibayangkan derasnya hujan saat itu sedahsyat apa.

Kutipan di atas adalah perkataan seorang teman yang suatu hari sempat berbincang dengan saya tentang gunung. Dan akhirnya datang juga celah waktu, dan kelebihan rejeki untuk saya kembali mengunjungi Gunung Ciremai. Namun, lewat jalur yang berbeda. Melalui jalur yang pernah disarankan teman saya. Jalur Lingarjati.

Saya informasikan sedikit bagaimana cara ke pos Linggarjati. Kalau dari Jakarta, naik bus tujuan Kuningan, nanti turun di depan minimarket pos Linggarjati. Lalu carter angkot ke basecamp. Jika naik kereta, maka stasiun terdekat adalah Cirebon. Dari sana bisa naik mobil elf, atau travel. Enaknya jalur Linggarjati adalah, selalu ramai di jam berapa pun karena tepat di sisi jalur Pantura. Letak basecamp-nya tidak jauh dari Museum Perjanjian Linggarjati, tempat di mana dulu para founding father kita berunding dengan Belanda yang mengakui secara de facto wilayah RI meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera. Biaya simaksi lima puluh ribu rupiah, sudah termasuk paket sekali makan, dan nanti dapat sertifikat.


Gunung Ciremai adalah gunung tertingi di Jawa Barat dengan ketinggian 3.078 mdpl (meter di atas permukaan laut). Melalui jalur Linggarjati, kita hanya perlu naik angkot 10 menit dari titik turun bus di ruas Pantura untuk sampai basecamp dan mengurus simaksi. Berbeda dengan gunung lain, yang untuk mecapai basecamp-nya saja harus gonta-ganti moda transportasi karena letaknya yang jauh di atas. Jadi, bisa dikatakan mendaki Gunung Ciremai dari pos Linggarjati betul-betul dimulai dari hampir titik nol. Dengan kata lain, kalau memang sampai puncak, maka 3.078mdpl itu nyaris seluruhnya ditempuh dengan kekuatan kaki.

Ada beberapa situasi menantang yang memerlukan perhitungan matang untuk mencapai puncak Gunung Ciremai jika melalui jalur Linggarjati.

1. Minim Air

Sumber air terakhir berada di pos 3. Itu pun harus berjalan sekitar setengah jam untuk mencapainya. Saran saya, beli jerigen di warung-warung dekat basecamp dan isi penuh semuanya di sini. Bijak-bijak menggunakan air, sampai puncak sudah tidak ada lagi sumber air yang proper.

2. Pos Yang Banyak

Mendaki Gunung Ciremai via Linggarjati memerlukan kesabaran dan fisik ekstra. Ada 13 pos yang harus dilewati. 13 pos, cuy! Lewat jalur Palutungan saja hanya ada sekitar 5-6 pos. Di sini saya baru paham, “…naek gunung beneran…”. Situasi seperti ini membuat pendakian rata-rata, jika ingin sampai puncak, membutuhkan waktu 3 hari 2 malam.

This is the situation, kalau di malam ke dua belum sampai, setidaknya pos 10 ke atas, maka lupakan ke puncak. Nikmati saja bermalam di tenda lalu turun keesokan paginya. Sekadar informasi, saya buka tenda di pos 11, summit jam 5 pagi dan baru sampai puncak jam 9-an. Bagaimana kalau berjalan terus walau sudah malam untuk memburu waktu? Bisa saja. Tapi ingat poin nomor 1. Dengan banyaknya pos dan sulitnya medan, konsumsi air akan semakin banyak. Belum bekal untuk perjalanan ke puncak yang kalau cuaca cerah sangat terik dan kering, bikin tenggorokan sangat mudah merindu sentuhan air. Belum untuk keperluan memasak, cuci-cuci, dan lain-lain.

Mendaki Gunung Ciremai lewat pos Linggarjati memang seru, tetapi dilematis. Stamina, persediaan air, dan waktu harus cocok semuanya. Ada salah satu yang terlewat, lupakan ke puncak, atau hanya akan mebahayakan diri sendiri. Selesai? Belum. Satu-satunya pemandangan indah di Ciremai adalah di puncak, selebihnya hutan, hutan, dan hutan belaka. Hayo, kalau mau foto-foto buat konten sosmed ya harus sampai puncak. Untuk sampai puncak, ya harus mempertimbangkan faktor-faktor tadi. Dilematis, kan? Oh iya ada pos yang namanya cukup spooky, ‘Kuburan Kuda’. Cuek saja kalau sampai sini, santai, oke? Oke, selamat mendaki!




Share: