Monday, 22 July 2019

Cerita Tentang Bule di Luar dan Dalam Negeri

Rasanya hegemoni bule sebagai ‘warga’ ekslusif yang selalu terlihat superior entah ketika mereka sebagai turis, atau ekspat pekerja, akan segera berakhir. Atau setidaknya dikotomi bahwa mereka spesial, bahkan, mempunyai privilege lebih dibanding warga negara Indonesia harus segera disudahi.

Apalagi belakangan banyak berita baik di portal berita daring maupun maupun kejadian viral di media sosial mengabarkan betapa mengganggunya bule yang terlantar, hingga mengemis ketika plesiran di sejumlah destinasi wisata tanah air. Modusnya berbeda-beda, mulai dari mengemis hingg jadi tour guide ilegal. 


Sepengalaman saya, biasanya mereka datang negara maju ke negara berkembang yang secara hukum peraturan keimigrasian dan penegakkan hukumnya lebih longgar. Negara berkembang, seperti Indonesia, biasanya menetapkan barrier entry yang tidak terlalu ketat bagi negara-negara Eropa, Australia, Asia Timur, dan Amerika Utara sebagai pasar utama produk pariwisata. Mereka masuk Indonesia dengan visa turis, lalu party-party, belanja-belanja, hidup bak royal family yang sedang tetirah, lalu kehabisan uang, dan akhirnya menyalahgunakan izin wisata dengan menjadi pencari uang untuk pulang, bahkan gilanya, ada yang terang-terangan bilang untuk melanjutkan liburannya.

Kalau sudah kehabisan uang, aneh-aneh memang tingkah bule ini. Bukan hanya di Indonesia. Saya beberapa kali mengalami dan menyaksikan sendiri bagaimana ajaibnya bule-bule kere bertingkah ketika kehabisan uang.

1. Di Siem Reap, Kamboja
Pertama kali masuk hostel di Siem Reap saya langsung disambut masalah aliran listri hostel yang padam. Akibatnya saya check-in dengan manual, cuma dicatat di buku panjang mirip buku catatan kasbon di warung. Saya mendapat bunk bed di seberang kasur seorang pelancong dari Spanyol. Dari awal saja ini bule udah banyak tingkah, suka keluar masuk hostel dengan seorang perempuan yang berbeda. Suatu pagi ketika saya bersiap packing, dia menyapa saya. Ramah.

“Hi, how are you? Where you from?”

“Fine. Indonesia. You?”

“Mallorca.”

“Spain. Awesome!”

“Indonesia too…”

Chitchat basa-basi itu nyaris menjadi sebuah diskusi menyenangkan sebelum,

“My friend…could you lend me some money?”

“Sorry?”

“Just 25 dollars…”

TAEK!

LU KIRA GUE NAHAN LAPER DARI TADI KARENA PUASA SENEN KEMIS ATAU DIET MAYO? KARENA NGIRIT, SUPRIYATNA!

2. Di Pnom Penh, Kamboja Masih di Kamboja. Ini saya yang pilih penginapan atau memang ini negara punya masalah serius soal perturisan, sih? Ketika pengelola hostel mengantar saya ke sebuah dormitory room, dia mengingatkan saya supaya tidak mengganggu seorang Amerika yang tertidur di kasur paling pojok. Menurut si pengelola, turis tersebut sedang sakit. Okelah, not big deal. Saya pun keluar untuk eksplore sekitar Pnom Penh. Ketika kembali ke hostel, di kamar hanya ada saya dan si bule sakit. Bedanya, dia mengeluarkan suara-suara mengerang seperti orang demam. Ya sudahlah, namanya juga orang sakit. Saya pun bersiap tidur dengan starter pack andalan, buka baju, pakai celana kolor, dan streaming film sambil menunggu kantuk datang.

Tiba-tiba pintu kamar dibuka dengan cara yang bisa bikin orang mati bangun lagi karena kaget. Saya yang sedang asyik nonton dengan telinga tersumbat earphone saja terlonjak saking kagetnya. Beberapa petugas berseragam bertampang bule masuk menyergap. Dalam hati saya bertanya-tanya, “SALAH APA NIH GUE SAMPE DIGEREBEK CIA GINI? APA KARENA GUE TERLALU MIRIP LENARDO DI CAPRIO?”

Ternyata badan telanjang dada dan perut bergelambir lemak saya sama sekali tidak menarik perhatian petugas-petugas tersebut. Mereka menyambangi bule sakit di pojok ruangan. Terjadi lah perdebatan dan adu argument antara si bule dan petugas. Ternyata petugas ini adalah utusan dari kedutaan Amerika Serikat untuk menjemput paksa si bule. Jadi bule ini sudah lama overstay di Kamboja, tidak kuat membayar kamar, dan kepolisian Kamboja tidak berani menangkapnya karena memang tidak ada pelanggaran hokum yang mengharuskan mereka menggunakan wewenangnya. Maka dari tu pihak hostel menghubungi US Emabssy.

Itu bule awalnya keukeuh tidak mau diciduk petugas kedutaan. Tetapi bak orang tua yang lagi nakut-nakutin anaknya yang ogah makan dengan cara, “Ayo diabisin makanannya, kalo susah nanti mama laoprin pak Polisi loh biar kamu ditengkep!”, pihak kedutaan pun memberi opsi bagi si bule, mau diserahkan ke Polisi Kamboja karena merugikan orang lain, atau ikut mereka untuk siap-siap di deportasi. Bijak bagi si bule karena dia pilih opsi ke dua. Pulang gratis, coy!

3. Masih di Pnom Penh, Kamboja

Masih di hostel yang sama. Jangan tanya ada masalah apa ini hostel sama bule-bule, kok banyak amat masalahnya, saya juga bingung. Jadi ketika saya baru check-in, di meja lobby yang bisa merangkap sebagai bar ada seorang bule yang sangat tekun memperhatikan laptop. Tanpa bermaksud mengintip, sekilas saya melihat dia sedang main game kartu.

Sore ketika saya ingin berjalan-jalan dan melewati lobby itu bule masih dengan posisi yang sama, teguh dengan permainan di laptopnya. Saya pulang menjelang malam, dia masih ada di sana tidak bergerak. Kalau ada orang yang tidak waspada, mungkin si bule sudah dikira patung hiasan hostel.

Saya check-out sehabis subuh karena harus mengejar bus pertama menuju Laos. Saya hampir berteriak karena di dalam gelapnya lobby ada sosok tinggi yang duduk di depan sebuah layar menyala. Cahaya remangnya menerangi wajahnya dari bawah, jadi mirip setan-setan di film Suzanna tapi ini versi bule. TERNYATA ITU BULE YANG SAMA DENGAN YANG SAYA LIHAT SEJAK CHECK-IN KEMARIN! DENGAN POSISI YANG SAMA! Untung yang jaga lobby sudah bangun lalu mengingatkan saya supaya jangan mengganggu bule itu, karena gampang marah.

“Dia lagi main poker online, berjudi. Kalau kalah suka teriak-teriak.”

Ya Allah, main judi aja jauh-jauh amat ke Kamboja. Lebih baik di rumah aja, ajak siapa gitu taruhan bola, yang kalah harus pindah ke Pluto naik bajaj Blok M.

4. Di Yogyakarta, Indonesia

Ini baru sekali saya alami. Jadi ketika terakhir saya ke Yogya saya menginap di bilangan Prawirotaman. Sebuah daerah yang memang secara de facto adalah pemukiman bule ekonomis yang sedang berlibur di Yogya. Di sana banyak bar yang menjadi tongkrongan bule minum-minum hingga dugem sampai pagi.

Saya menginap di kamar dormitory, ada bule yang baru masuk kamar jam lima pagi. Jam tersebut bagi saya, dan bagi manusia normal pada umumnya, adalah awal dari seluruh kegiatan. Jadi ya mesti bongkar-bongkar tas, ganti baju, budidaya marmut, hingga packing. Karena ini dormitory, semuanya dilakukan di atas kasur. Si bule yang baru pulang teller ini kayaknya ngantuk berat, kepengen langsung tidur tapi terganggu dengan suara-suara yang saya timbulkan. Dia menegur. Oke, saya mengalah dan meminilmalisir bunyi dari kegiatan saya. Tapi sekuat apa pun saya berusaha, suara-suara tetap ada. Ya menurut lo, gimana coba pake baju tanpa menimbulkan suara?

You know what si bule ngomong apa? 
“HEI YOU! GO OUTSIDE!”

DIUSIR DONG!

Sedikit menahan emosi saya keluar dari kamar. Untung ini bukan zaman perang grilya, kalau iya saya sudah cari bambu runcing. Jadi begini rasanya dijajah di negeri sendiri?

Lalu saya cerita ke petugas hostel, bukan complain karena ini sama sekali bukan kelalaian mereka, bahwa ada kelakuan bule yang mentalnya kayak Daendels. Ya namanya juga dormitory, satu kamar ada beberapa orang. Harganya murah karena ada privasi yang sedikit dikorbankan, kalau mau betul-betul tenang ya nginep sono di private room. Toh saya juga sebetulnya tidak berisik, tidak teriak-teriak, tidak ngundang Elvi Sukaesih buat bikin orkes dangdut.



Demikian segelintir kisah-kisah saya dengan bule yang ajaib-ajaib. Saya cukup gelisah dengan beberapa pemberitaan tentang bule ini hingga muncul istilah begpacker. Ernest Prakasa dalam sebuah cuitannya bilang kurang-lebih begini, “sudah saatnya kita tidak merasa inferior dengan menganggap turis bule itu spesial dan kita di bawah mereka.”. Sulit memang mengubah mental feodalisme yang sudah tertanam sejak 350 tahun kita dijajah Belanda.

Untuk bidang pariwisata, saya cukup bersyukur, tidak pernah rasanya terdengar backpacker asal Indonesia terkatung-katung di negara orang. Mungkin sulitnya visa bagi WNI ke negara lain bisa disikapi positif dengan berpikir bahwa dengan begitu kita jadi bisa mempersiapkan segala sesuatunya sebelum liburan, termasuk finansial. Bahkan untuk bersenang-senang pun kita butuh persiapan. Selamat berlibur, semoga tidak bertemu bule yang aneh-aneh =)
Share:

18 comments:

  1. Halo salam kneal mas Iqbal, wah saya belum ada kesempatan nih untuk jalan-jalan di ASEAN. Kalau ada kesempatan dan rezekinya saya mau juga nih. hehehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal juga Mas Zaki, terima kasih sudah mampir.

      Aamiin, Mas, saya doakan semoga ada waktu dan rezeki.

      Delete
  2. Lagi bayangin ekspresi setelah "just 25 dollar" mas. Wakakak.. Salam kenal ya mas..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha, bule gilaaa. Salam kenal juga, Mas. Terima kasih sudah mampir =)

      Delete
  3. Memang ajaib sekali cerita bule-bule ini.
    Kalau dihimpun dari berbagai media, kejadian-kejadian seperti bule ngemis dan sebagainya cukup banyak. Dan mungkin, kita perlu berhenti untuk memanggil "Sir"--atau mungkin juga "Mister" kepada WNA karena strata kita sebenarnya sama.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, Mas. Kemudahan mendapat visa Indonesia jadi pedang bermata dua, sih. Di satu sisi menngenjot kunjungan wisman, di satu sisi ya bule yang ke sini jadi seenaknya, gitu.

      Delete
  4. Mau tanya, kan kalo travelers lokal liburan itu demi postingan di IG. Nah, kalo bule (mau gembel atau gak) ada ga sih, mereka liburan demi postingan di IG atau hanya tergila-gila saja dengan yang namamya liburan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, nih, saya kalo liburan pas foto-foto memang ada saja terbesit "ini kalo di post di IG bagus, gak, ya?". Tapi rasanya nggak semua traveler lokal berlibur untuk konten sosmed. Banyak kok yang betul-betul menikmati experience tanpa khawatir sosmed. Dan ada juga bule yang di tempat wisata nggak lepas dari gadget-nya untuk keperluan update-nya. Dan, semua sah-sah saja =)

      Delete
  5. wahahaaaa.. ternyata unik juga ya cerita sama bulenya mas brooo...

    ReplyDelete
  6. Wanjeeer satu homestay banyak cerita. Wahahhaa rusuh abis sih. Ngobrol... ngobrol... ngobrol... ujungnya minjem duit. Udah kayak temen lama aja. :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Asli, kesel banget. Lagian kalopun dipinjemin, gimana nagihnya coba? Hahahaha

      Delete
  7. suka sama ulasannya, beberapa waktu yang lalu saya baca artikel tentang begpacker, bule2 yang ngemis di jalanan, khususnya memang di kawasan asean negara yg berkembang..

    udah saatnya sih mental kalau setiap manusia itu sama, gaa da yang siperioir, memang selama ini mental kita aneh, suka ngerasa kalau kasta kita dibawah mereka, padahal sama2 manusia

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Mas atas kunjungannya.

      Iya, sekarang kalau ketemu bule biasa aja. Cukup tunjukkan sikap bersahabat kita sebagai tuan rumah =)

      Delete
  8. wkwkwkwkwk ((BULE EKONOMIS)) :P. Duuuh sepanjang sejarahku traveling, jujurnya blm pernah liat para bule kere begini mas. di negara2 asean atopun eropa.. ntah beruntung, ato daerah yg aku datangin bukan wilayah mereka :p. kadang jujur aja kasian kalo baca di internet ato berita ttg mereka ini. tp kok ya sebel jugaa. Warga kita usaha banget dapetin visa, eh mereka enak2 ngemis. Ntah yaa kalo sampe ketemu apa aku bakal iba beneran ato bisa tegas ngadepinnya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Coba sesekali pas traveling nginep atau kunjungin daerah-daerah tempat peninapan murah berkumpul, kemungkinan ketemu bule model gitu bisa lebih besar.

      Terakhir ada berita bule curi motor warga di Bali terus menabrakan diri ke mobil. Hadeeehhh

      Delete