“Apa prestasi kamu sampe berani-beraninya ngelamar anak saya?”
“Saya waktu liburan ke Yogya gak ke Malioboro, Pak.”
“Mantap! Kamu menantu yang selama ini saya cari, fix, besok kita DP gedung!”
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Yogyakarta dan Malioboro memang bagai dua sisi mata uang. Seperti Julius Caesar dan Kota Roma. Laksana Leonel Messi dan FC Barcelona. Seolah jika keduanya dipisahkan, salah satunya akan kehilangan fungsi. Malioboro menjadi tolak ukur itinenari para wisatawan, dan pasti masuk rundown acara study tour sekolah-sekolah yang berkunjung ke Yogyakarta. Tepat di pusat kota, suasana yang nyaman, dekat dengan Pasar Beringharjo, dan romantisme tak berujung adalah sedikit dari melimpahnya alasan mengapa jika ke Kota Pelajar, maka harus ke Malioboro.
Namun, ketika saya terakhir ke Yogyakarta, tanpa sadar saya melewatkan Malioboro. Ternyata perjalanan saya tetap asyik, tetap berkesan, dan syukurnya mendapat nilai lebih berupa pengetahuan baru. Saya juga menemukan tempat-tempat baru dan kegiatan ‘alternatif’ yang sepertinya underrated jika dibandingkan dengan kedigdayaan turisme Malioboro.
Berikut adalah hal-hal yang saya lakukan selama berlibur di Yogyakarta tanpa ke Malioboro:
1. Makan di Gudeg Sagan
Ya namanya juga di Yogyakarta, kalau wisata kuliner, gudeg pasti ada dalam daftar ‘sikat’. Walaupun ada beberapa orang yang mungkin tidak begitu menyukai panganan dengan rasa dasar manis ini. Gudeg Sagan sangat saya rekomendasikan untuk dikunjungi. Rasa keseluruhannya masih bisa ditolelir oleh orang yang tidak menyukai gudeg karena manisnya. Bahkan sambalnya ada tingkatan kepedasannya. Menu protein utamanya ada ayam, ati ampela, dan telur yang bisa dicampur harmonis dengan krecek, nangka, dan tahu goreng dengan tekstur juicy. Harganya paling tinggi Rp. 34.000 untuk satu porsi gudeg dengan dada ayam. Gudeg Sagan ini terletak di Jl. Herman Yohannes, atau lebih dikenal dengan Jalan Sagan. Patokannya adalah permpatan Rumah Sakit Bethesda dan Galeri Mal. Soal hype, Gudeg Sagan memang masih kalah dengan Gudeg Yu Djum atau Gudeg Pawon. Tapi soal rasa, dan mungkin harga, Gudeg Sagan sangat bisa bersaing.
“Saya waktu liburan ke Yogya gak ke Malioboro, Pak.”
“Mantap! Kamu menantu yang selama ini saya cari, fix, besok kita DP gedung!”
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Yogyakarta dan Malioboro memang bagai dua sisi mata uang. Seperti Julius Caesar dan Kota Roma. Laksana Leonel Messi dan FC Barcelona. Seolah jika keduanya dipisahkan, salah satunya akan kehilangan fungsi. Malioboro menjadi tolak ukur itinenari para wisatawan, dan pasti masuk rundown acara study tour sekolah-sekolah yang berkunjung ke Yogyakarta. Tepat di pusat kota, suasana yang nyaman, dekat dengan Pasar Beringharjo, dan romantisme tak berujung adalah sedikit dari melimpahnya alasan mengapa jika ke Kota Pelajar, maka harus ke Malioboro.
Namun, ketika saya terakhir ke Yogyakarta, tanpa sadar saya melewatkan Malioboro. Ternyata perjalanan saya tetap asyik, tetap berkesan, dan syukurnya mendapat nilai lebih berupa pengetahuan baru. Saya juga menemukan tempat-tempat baru dan kegiatan ‘alternatif’ yang sepertinya underrated jika dibandingkan dengan kedigdayaan turisme Malioboro.
Berikut adalah hal-hal yang saya lakukan selama berlibur di Yogyakarta tanpa ke Malioboro:
1. Makan di Gudeg Sagan
Ya namanya juga di Yogyakarta, kalau wisata kuliner, gudeg pasti ada dalam daftar ‘sikat’. Walaupun ada beberapa orang yang mungkin tidak begitu menyukai panganan dengan rasa dasar manis ini. Gudeg Sagan sangat saya rekomendasikan untuk dikunjungi. Rasa keseluruhannya masih bisa ditolelir oleh orang yang tidak menyukai gudeg karena manisnya. Bahkan sambalnya ada tingkatan kepedasannya. Menu protein utamanya ada ayam, ati ampela, dan telur yang bisa dicampur harmonis dengan krecek, nangka, dan tahu goreng dengan tekstur juicy. Harganya paling tinggi Rp. 34.000 untuk satu porsi gudeg dengan dada ayam. Gudeg Sagan ini terletak di Jl. Herman Yohannes, atau lebih dikenal dengan Jalan Sagan. Patokannya adalah permpatan Rumah Sakit Bethesda dan Galeri Mal. Soal hype, Gudeg Sagan memang masih kalah dengan Gudeg Yu Djum atau Gudeg Pawon. Tapi soal rasa, dan mungkin harga, Gudeg Sagan sangat bisa bersaing.
2. Ngopi di Kopi Kumpeni
Bagi yang mewajibkan waktu minum kopi ketika berlibur, bersyukurlah karena kini Yogyakarta punya banyak sekali tempat ngopi dengan berbagai macam konsep dan rasa. Jika kegiatan berlibur bersinggungan dengan lokasi yang dekat dengan kawasan Kauman, cobalah mampir ke Kopi Kumpeni. Kedai sederhana ini berada di gang yang berseberangan dengan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah. Pencahayaan tungsten yang lembut akan menyambut begitu kita masuk melalui pintu depan bergaya kolonial. Furnitur beraksen tua menguatkan jalinan atmosfer suasana dengan nama kedai ini yang berbau istilah masa lampau. Pewarnaan dinding, lantai, dan kusen-kusen dengan dominan krem diselingi strip-strip hijau mempertegas kesan etniknya. Ruang kerja barista yang dibiarkan terbuka adalah sebuah zona pertemuan antara tradisional ambiance dengan modernitas. Di tengah furnitur bercorak jaman dulu, berjejer alat-alat pembuat kopi masa kini, moka pot, rok presso, french press, aeropress, V60, Vietnam drip, syphon, dan satu mesin kopi otomatis.
Saya hanya penikmat kopi, jadi hanya bisa memberikan pendapat sebatas bahwa rasa kopi di sini jelas tidak mengecewakan. Ada es krimnya juga. Harganya berkisar antara 15-25 ribu rupiah. Saya, sih, suka suasananya. Entah karena kedai kopi ini belum begitu dikenal atau apa, tetapi suasana hening dan sepi di kedai ini bikin betah.
3. Ikut Walking Tour
Yogyakarta adalah kota dengan sejarah menakjubkan. Sayang sekali jika ke sini tapi tidak pernah tahu apa yang membuat kota ini ditakdirkan menjadi seperti sekarang. Mengikuti walking tour yang diadakan oleh Jogja Goodguide adalah sebuah pilihan tepat jika ingin mencari tahu tentang sejarah Kesultanan Ngayogyakarta. Ada beberapa spot-spot penuh cerita mulai dari mitos, legenda, hingga bukti sejarah sahih yang bisa dikunjungi. Saya mengunjungi Kota Baru, Kota Gede, dan Kauman. Di Kota Baru saya jadi tahu bahwa kawasan ini dibangun Belanda dengan Menteng (di Jakarta) sebagai contoh konsepnya. Kota Gede bercerita tentang Panembahan Senopati dengan Mataram Islamnya. Kauman menginspirasi saya lewat kisah tokoh pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan.
Wisata model seperti ini ke depannya saya prediksi akan mendapat banyak tanggapan positif. Perpaduan antara konsep wisata sejarah dan Yogyakarta adalah kombinasi sempurna untuk sebuah konten wisata edukasi. Bayangkan, kita bisa mengulik sejarah dari kesultanan yang masih eksis selama berabad-abad dan menjadi satu-satunya kerajaan di nusantara yang secara de facto maupun de jure, rajanya masih mempunyai kuasa atas rakyatnya. Istimewa!
4. Belanja di Pasar Kangen
Saya kurang tahu, apakah Pasar Kangen ini rutin buka atau karena event tertentu saja. Pasar ini letaknya di sebelah Taman Pintar. Seperti namanya, pasar ini menjual pernak-pernik dan segala sesuatu yang membuat kita kangen masa lalu. Vinil, kaset pita, jam tangan Kura-Kura Ninja, Brisk, action figur, komik-komik Gundala dan kawan-kawan, tustel, prangko, hingga poster-poster dengan gambar bintang film angkatan Chuck Norris masih magang semuanya ada. Kualitas barangnya tentu sudah tidak prima lagi, tetapi nilai nostalgianya mampu membuat pengunjung merogoh kocek untuk belanja. Milenial kelahiran 2000 ke atas pasti bingung masuk ke sini.
5. Menginap di Kawasa Prawirotaman
Nah, biasanya kalau yang sedang berlibur ke Yogya pasti memilih Malioboro sebagai lokasi menginap karena dekat ke mana-mana. Coba sesekali untuk menginap di hostel-hostel budget di kawasan Prawirotaman. Saya pernah menuliskan review untuk satu penginapan bagus di kawasan ini. Ada apa di sini? Ada banyak bule backpackeran. Kalau di Malioboro biasanya bule keren-keren sekeluarga belanja-belanja fancy, di sini akan sering bertemu dengan bule singletan, sandal jepit, celana pendek, sedang mencari bar.
Di kawasan ini juga ada yang hype. Yaitu es krim Tempo Gelato yang memiliki rasa es krim kemangi, cabai, rendang. Ada juga restoran Via Via yang katanya tempat syuting Ada Apa Dengan Cinta 2, betul tidak, sih? Di scene yang mana, ya?
Nah, sekian liburan saya di Yogya tanpa ke Malioboro. Tetap asyik, walau tidak beli oleh-oleh =)
masih anyak tempat menarik selain malioboro ya
ReplyDeleteBanyaaakkk banget, Mbak =)
DeleteUdah ke jogja 4x an, tapi belum pernah makan gudeg :(
ReplyDeleteMenurutku gudeg memang makanan segmented, sih, Mas. Nggak semua orang suka, soalnya lauk pauk dengan nasi dan rasanya manis kurang familiar sama kebanyakan lidah orang Indonesia pada umumnya.
DeletePrestasi yang patut untuk dibanggakan, Sebagai orang asli Jogja saat ini Malioboro uda banyak dilewatkan untuk rekreasi kecuali pas ada event penting. Karena saat ini telah banyak obyek wisata baru yang tak kalah dari Malioboro. Namun sebagai turis yang peratama kali ke Jogja melewatkan malioboro itu ibarat masak nasi goreng tanpa nasi :D
ReplyDeleteSaat di Yogya, bsk lagi kabar2 mas. siap aku bantu muter2 dari Kaliurang, Prambanan, Tebing Breksi, Candi Ijo. Salam kenal
Hahaha, iya, Mas. Kalau baru ke Yogya ya sangat disarankan ke Malioboro. Masa mau melewatkan kawasan otentik gitu.
DeleteSiap, Mas. Nanti berkabar kalau saya ke Yogya lagi. Terima kasih banyak, ya, Mas. Salam kenal juga =)
ngiler banget sama gudegnyaaaa, jadi pengen buru-buru ke jogja :D
ReplyDeleteCusss...Asli, deh, enak banget!
DeleteSekarang juga suka susaah untuk sekedar cari parkir mobil saat weekend. Malioboro padaaat bgt.
ReplyDeleteTertarik dengan walking tour nya nih.
makan gudeg adalah sebuah kewajiban jika berlibur ke jogja ya :D
ReplyDeleteDi jogja banyak sekali tempat wisata selain malioboro.
ReplyDeleteCoba deh ke daerah utara di kawasan kaliurang. Bisa ngopi2 suasana pedesaan di sana, belanja jg bisa di mirota atas, atau jelajah di kawasan merapi. dan masih banyak lagi.
Salam kenal mas Yosfiqar Iqbal.
Nah, bisa jadi referensi nih. Makasih infonya mas kening lebar, hehe..
ReplyDelete