Wednesday, 20 May 2020

Seperti Jatuh Cinta, Gejala Corona Juga Harus Dikenali Sejak Awal

Saya memutuskan berangkat ke Filipina saat pandemi corona sedang mendaki menuju puncak kurva statistik. Di tengah Februari 2020 kala itu, belum ada secara resmi kasus COVID-19 yang menjangkiti manusia di wilayah Indonesia. Karena itu peraturan lalu lintas orang keluar-masuk Indonesia pun belum begitu ketat. Seingat saya, orang masuk Indonesia hanya diharuskan mengisi kartu kesehatan berwarna kuning. Kartu itu memuat data penerbangan, jadi ketika di kemudian hari ada penumpang dari penerbangan yang sama positif COVID-19, maka penumpang lain pun harus ditracing dan diisolasi.

Sesampainya di bandar udara Ninoy Aquino International Airport, Manila, pun protokol penanganan COVID-19 baru sebatas pengecekan suhu dan penyediaan hand sanitizer di hampir setiap titik. Kami bahkan tidak diberikan kartu kuning untuk diisi. Menurut informasi, saat itu kasus positif corona di Filipina baru tiga orang. 
Stop berkerumun dulu, ya...
Keadaan di Metro Manila sendiri masih normal, mungkin hanya banyaknya orang yang mengenakan masker yang akan mengingatkan kita bahwa negara tersebut juga sedang berjuang melawan virus corona. MRT masih penuh sesak di jam sibuk, restoran cepat saji antreannya mengular, obyek-obyek wisata seperti Intramurros, Benteng Santiago, hingga Mall of Asia masih dikunjungi banyak wisatawan dalam dan luar negeri.

Masalah muncul ketika teman seperjalanan saya merasa tidak enak badan. Waktu itu kami berasumsi mungkin karena terlalu capek. Maklum, kami banyak berjalan kaki untuk pindah dari satu titik ke titik lain. Suasana Manila yang tingkat stresnya sama seperti Jakarta bisa saja menyerang ketahanan fisik. “Dibawa tidur aja juga besok sembuh ini mah.” Kata teman saya, pede.

Keesokan harinya, sepulang dari Kota Tagaytay, kondisi teman saya justru memburuk. Muncul gejala seperti batuk-batuk, bersin, dan sedikit meler. Kondisi seperti itu di tengah isu COVID-19 tentu sangat mengkhawatirkan. Teringat kami mengunjungi beberapa tempat dengan kerumunan yang padat selama beberapa hari. Lalu kami pun banyak berpindah-pindah penginapan yang tidak diketahui siapa yang pernah tidur di sana. Itu belum termasuk kunjungan kami ke beberapa pasar tradisional di Manila dan bertemu dengan beberapa traveler lain dari negara berbeda yang bisa saja menjadi carrier.

Kalau waktu itu bisa test corona online, sih, enak ya. Seperti aplikasi di Halodoc yang kini bisa mendeteksi dini gejala corona sehingga kita bisa konsultasi awal dengan dokter. Nnanti akan direkomendasikan obat yang diperlukan, hingga kalau perlu dirujuk ke rumah sakit. Kalau sudah ada guidance dari dokter kan lebih tenang. Cukup efektif juga walaupun sedang berada di luar negeri.

Akhirnya kami hanya bisa membeli obat di Guardian-nya Manila. Puji Tuhan, kesehatan teman saya membaik dan ketika pulang, di thermo scanner di Soekarno-Hatta pun suhu tubuhnya normal. Satu minggu setelah kepulangan kami, barulah kasus pertama COVID-19 ditemukan. Filipina, beberapa hari kemudian me-lockdown Metro Manila.

Bersyukur dan sedih bercampur jadi satu. Bersyukur karena Manila dilockdown saat kami sudah pulang. Duh, tidak terbayang kalau sampai ‘terjebak’ di Manila dan gagal pulang ke Indonesia. Sedih juga karena bukan hanya di Filipina, sejak hari itu di Indonesia pun wabah corona menyebar tak terkendali.

Sekarang yang bisa kita lakukan adalah menjaga diri, dan orang sekitar kita. Tetap bersih, pakai masker, jaga jarak, hindari keramaian dan rajin cuci tangan, jangan mudik dan pulang kampung. Eh, mudik sama pulang kampung sama tidak, sih? Anyway, Jika merasa kurang enak badan, istirahat yang cukup dan jangan ragu konsultasi ke dokter. Sebab seperti jatuh cinta, gejala terinfeksi corona harus dikenali sejak awal agar tidak memburuk.


Share:

Monday, 18 May 2020

Bandara: Banyak Cerita Sebelum Mengudara

Di film The Terminal, set bandara ternyata bisa menjadi premis sebuah cerita yang menarik. Bayangkan, seseorang yang sedang beperian ke Amerika Serikat mendadak harus stateless secara de jure karena ada kudeta di negara asalnya. Pemimpin baru negara yang disebutkan berada di Eropa timur itu memutuskan hubungan diplomatik dengan dunia luar. Akibatnya, Viktor Narvoski, nggak bisa masuk ke wilayah AS, atau terbang kembali ke negara asalnya karena paspornya nggak berlaku. Silakan tonton sendiri bagaimana Viktor bertemu sahabat baru, bahkan cintanya selama terkurung di bandara. 

Mohon maaf, lagi nggak punya stok foto bandara =(

Bandara adalah sebuah perpaduan ruang dan waktu dengan banyak sekali persinggungan antarmanusia, bahkan dengan yang nggak saling kenal sekalipun. Akibatnya tempat ini bukan hanya menjadi sekadar ruang transit sebelum terbang. Saya sendiri memiliki beberapa cerita menjurus drama di beberapa bandara.

1. Soekarno Hatta, Indonesia
Setelah memastikan berkali-kali hingga hari H keberangkatan, tepat di hari Valentine tahun ini, saya berangkat ke Manila, Filipina. Mendapat jadwal flight pada jam abu-abu seperti 00.15 membuat saya was-was, takut terlalu cepat satu hari datang ke bandara, atau paling apes ketinggalan pesawat karena mengira penerbangan di hari berikutnya.

Sepulang kantor saya langsung meluncur ke stasiun kereta bandara. Sampai di sana saya makan di KFC. Lalu teringat travelmate langganan, si Centong, dia juga akan bersama saya sdi trip Filipina kali ini. Bedanya, dia ke bandara naik Damri dari Serang. Untuk memastikan posisi, terjadi chat dengan percakapan begini,

“Cen, gue lagi di KFC stasiun nih. Mau nitip gak lu? Ntar gue bungkusin.”

“Wah, boleh. Dada, ya.”

“Sip. Lu di mana?”

“Udah sampe bandara, nih.”

“Gue bentar lagi jalan, setengah jam lah sampe. Lu nunggu di mana?”

“Depan KFC.”

“….”

Beberapa menit kemudian Centong makan paket KFC Stasiun kereta bandara yang sudah dingin di depan KFC bandara. Suplai chain management KFC sungguh kami bikin berantakan hari itu. Kolonel Sanders geleng-geleng kepala di atas sana.
 
2. Indira Gandhi International Airport, India
Masih bersama saya dan Centong. Pagi buta dengan suhu 8 derajat celcius New Delhi kami terobos demi mendapat kejelasan terbang atau nggak kami ke Kashmir setelah tiga hari sebelumnya maskapai yang kami tumpangi memberi tahu bahwa penerbangan kami dicancel secara sepihak.

Driver kami, Atter, dengan perhatian penuh berpesan,

“Kabari kalau flight kalian sudah jelas, nanti saya jemput lagi di sini kalau betul-betul kalian gagal berangkat.”

Saya dan Centong dengan tampilan seadanya dan masih bau iler masuk ke bandara terbesar di India itu. Menurut klaimnya sih, bandara ini tiap hari menampung 4 juta penumpang. Kami melewati pintu setelah sebelumnya diperiksa oleh personel militer lengkap dengan senjatanya.

Di dalam, kami langsung menyerbu konter maskapai berlogo dominan merah.

“Maaf, Pak, penerbangan anda sudah dibatalkan,” kata petugas dari balik kaca berbahasa Inggris dengan logat India medok.

“Apa nggak ada opsi lain? Pindah ke maskapai lain, gitu?”

“No.”

“Reschedule?”

“No.”

“Saya ganteng, dan idaman mertua?”

“No.” 

Kami hampir pasrah merelakan liburan lihat salju di Kashmir. Bolak-balik ke konter pelayanan, walau dengan petugas berbeda, teteapi hasilnya sama saja. NO! Untungnya Tuhan memberi jalan lain. Seorang petugas perempuan menghampiri kami alih-alih lapor security untuk mengamankan kami, kayaknya kasihan melihat dua orang traveler yang terindikasi kena gizi buruk luntang lantung nggak jelas. Kami diminta menunjukkan tiket, paspor, dan visa.

Saya diarahkan ke back office konter pelayanan tadi. Di sana lalu ada petugas yang lebih ramah dan memberi kami opsi reschedule lusa. Ya sudah kami ambil daripada nggak ke Kashmir sama sekali. Kami berterima kasih, lalu bergegas pergi. Tetapi petugas itu menahan kami.

“Kalian harus keluar didampingi sama petugas. Tunggu.”

Kirain sama petugas maskapai. Nggak tahunya sama petugas militer dengan senjata lengkap. Kami digiring lewat pintu belakang kayak artis kena skandal selingkuh sama marmut.

Selesai? Oh, belum. Kami harus mengabarkan Atter untuk menjemput, karena harus kembali ke New Delhi. Masalahnya, selama di India kami hanya mengandalkan wifi penginapan untuk berkomunikasi. For your very very important information, wifi gratis di Indira Gandhi International Airport itu baru bisa digunakan kalau punya nomor lokal India. Pagi itu saya di pelataran bandara berjalan dari ujung ke ujung demi mencari keajaiban siapa tau ada wifi tak berpassword nyangkut. Nihil.

“Bal, tuh ada kios kopi. Sepik-sepik beli, yuk. Terus minjem tetring.”

Beberapa menit kemudian Atter menjemput kami karena mendapat pesan Whatsap. Terima kasih kepada tukang kopi yang mau baik hati berbagi hotspot internet dari ponselnya.


3. Jaipur International Airport, India
Saya pernah menceritakan kejadian salah tulis nomor paspor si Centong. Intinya kami tertahan karena ada kenggaksesuaian antara nomor passport asli dan yang tercantum di visa. Saya nggak habis pikir kenapa bisa lolos hingga Jaipur padahal pemerikasaan berlapis mulai dari Indonesia.

Apply visa, lolos, approved. Pede.

Di Soekarno Hatta, lolos. Pede.
 
Di KLIA2 Malaysia, lolos. Makin pede. Asik besok liat Taj Mahal

Di Jaipur. Si Centong nyaris dideportasi.


4. Srinagar International Airport, India
Kashmir sebagai wilayah India yang memiliki konflik berkepanjangan membuat provinsi Srinagar, yang berbatasan dengan Pakistan, dijaga ketat. Mulai masuk pintu gerbang bandara, hanya boleh yang pegang tiket yang masuk. Itu pun penumpang harus turun dari mobil untuk melewati beberapa pos pemeriksaan. Tentara yang berjaga pun kelihatannya seperti di negara yang sedang menerapkan status DEFCON atau siap perang. Peralatannya lengkap, senjata, helm, hingga rompi antipeluru.

Sampai depan terminal bandara, Hilal, tour guide sekaligus driver kami mengingatkan,

“Cepat ambil barang kalian, kami di sini cuma diizinkan lima menit. Lebih dari itu kami ditangkap.”

Lah buset! Demi lepas dari tanggung jawab dipenjaranya seorang driver, kami pun buru-buru mengambil tas di bagasi.

 
5. Siem Reap Airport, Kamboja.
Seperti umumnya bandara internasional lainnya, sesaat setelah mendarat, penumpang yang mau masuk tertori Kamboja harus mengisi form kedatangan. Kebetulan saya lupa bawa pulpen, jadi harus antri panjang untuk mengisi form di sebuah meja yang ada pulpennya.

Hampir bosan antri, ada petugas berseragam imigrasi Kamboja. Wajahnya seperti tentara Vietkong di film Rambo.

“Kamu lagi ngapain di sini?” Tanyanya. Tadinya kepengin saya jawab, “LAGI LATIHAN BALET LAH, MASA LAGI TAHLILAN!”. Tapi nggak jadi, taku diangkut Pol PP bandara chapter Kamboja.

“Saya nggak ada pulpen untuk isi ini. Anda punya? May I borrow?”

Wajah angker itu tersenyum,

“Sudah, langsung saja ke konter imigrasi.”

“Loh, ini gak perlu diisi?”

“Relaks. Enjoy your trip.”

Saya pun melewati imigrasi tanpa halangan. Kamboja adalah negara paling santuy soal imigrasi. jauh dari kesan mengintimidasi di mana biasanya konter ini yang paling bikin deg-degan jika ingin memasuki suati negara. Kepengen rasanya dadah dadah ke bule yang masih pada antri isi form. Bahkan saya nggak ditanya tiket pulang, menginap di mana, nggak periksa sidik jari, nggak difoto, pokoknya tinggal cap jebret, lolos deh.

 
6. KLIA2, Malaysia
Airport di negara tetangga ini langganan untuk transit kalau tidak ada penerbangan langsung ke nergara yang dituju. Pernah transit selama 12 jam di sini dan tidur di area bebas rokok. Pernah juga nyaris ditinggal pesawat karena lupa menset waktu otomatis di ponsel karena perbedaan waktu di Indonesia dengan Malaysia berbeda satu jam.

Cerita pertama saya cukup berkesan, kalau tidak mau dibilang norak, di bandara ini. Yaitu kucing-kucingan sama petugas kebersihan untuk mandi di toilet. Waktu itu udah dua hari nggak mandi, Hyung! Saya berhasil menyelundupkan handuk kecil, sabun, beserta seperankat alat gosok gigi. Yos 1 – 0 Petugas kebersihan.

Lalu yang paling nyeleneh ya ketika ada seorang lelaki berpaspor kamboja tiba-tiba berbicara sesuatu yang tidak jelas. Saya, dan Centong yang tidak mengerti apa yang beliau maksud hanya saling tatap mencoba menerka. Hingga tiba-tiba si bapak tadi menggesturkan mau membuka resleting celananya. Wait, apaan nih? Mau pamer pola celana boxer? Lalu dia menyebutkan sesuatu berkali-kali yang terdengar seperti,

“Ooohhh…rest room? Dia nanya toilet, Bal.” Teman saya akhirnya mengerti.

“Kirain nanyain mantri sunat.”


7. Ninoy Aquino International Airport, Filipina
Selalu ada pertama kali untuk setiap orang. Filipina membuat itu terjadi kepada saya. Di sini untuk pertama kalinya saya mencoba minum bir. Di sini pula saya selama sepuluh hari berturut-turut makan junk food tiap hari.

Di Ninoy International Airport saya melakukan debut membeli barang di gerai bebas pajak dan cukai bandara. Sebotol Liquid Coentrau, minuman beralkohol untuk dibawa pulang ke Indonesia. Ini pesanan teman. Katanya kalau di Indonesia harganya lebih mahal beberapa ratus ribu.

Membeli barang di toko duty free umumnya bertujuan untuk menghindari pengenaan cukai di negara tujuan, makanya saya membeli minuman itu di bandara. Teman saya sudah menitipkan paspor dan kartu kreditnya untuk digesek guna menuntaskan pembayaran. Nah, saya tidak tahu hingga sesaat ketika mau membayar bahwa untuk belanja di merchant buty free harus menunjukkan boarding pass juga. Dengan kata lain, saya nggak bisa menggunakan kartu kredit teman saya, karena sudah pasti namanya nggak match sama boarding pass.

Di sini pentingnya punya simpanan uang cash sebagai cadangan, atau peluru terakhir di saat darurat. Akhirnya saya merogoh kantung uang terdalam saya, lalu mengambil peluru terakhir berupa selembar pecahan 100USD dan membayar minuman beraroma citrus itu seharga 40 USD. Gagal, deh, nimbun Dollar.

Begitulah bandara. Ceritanya nggak pernah biasa-biasa saja. Derap langkah dan suara gesekan di lantai roda koper adalah satu dari sekian banyak hal yang mewakili bunyi antusiasme manusia sebelum mereka pergi, atau hendak kembali. Semuanya, sebelum mengudara.
Share: