Jujur saja, saya termasuk orang yang tidak memiliki pengetahuan literasi luas. Walaupun istilah literasi luas itu masih bisa diperdebatkan bagaimana dan ukuran batasnya, tapi ketika orang-orang banyak memuji karya-karya Eka Kurniawan, atau mengutip salah satu kalimat buku Tere Liye berbau motivasi untuk dijadikan status media sosial, saya tidak melakukannya karena tidak pernah membaca karya kedua penulis Indonesia yang sangat produktif tersebut.
Saya juga tidak membaca semua Harry Potter, menyerah membaca Madilognya Tan Malaka, dan, oh iya, mohon maaf juga karena belum punya satu pun buku Fiersa Besari. Semoga anak senja, pecinta kopi, penyemai rindu, pembaca semesta, peluruh daki, pembesar tiang listrik, dan penikmat bau bensin tidak marah.
Eh, tapi walaupun literasi saya terbilang terbatas, saya masih punya kok beberapa karya yang bisa dibilang begitu nyangkut di kepala hingga sekarang. Karya-karya yang mungkin terdengar jadul karena memang saya nikmati ketika kecil, remaja, bahkan sampai sekarang. Dulu, tiap anak remaja pasti punya role model yang ingin dia tiru habis-habisan setelah menonton atau membaca sebuah novel.
Novel berjudul Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar, misalnya. Membaca novel tersebut ketika masa puber sedang berada pada puncaknya sungguh menambah akselerasi hormon menuju manusia dewasa. Sosok tokoh utama Anton Rolimpande yang flamboyan dan menarik perhatian cewek semudah menarik upil gantung membuat diri ini ingin sekali seperti dirinya. Gebet sana-sini. Marini, Erika, dan dosen tercantik di kampusnya habis kalau tidak dighosting, ya di PHP-in Anton. Fakboi baca novel ini langsung insecure kayaknya. Waktu saya SMA karya ini diangkat versi sinetronnya, Anton yang di versi filmnya diperankan Roy Marten, di versi sinetron dimainkan oleh Indra Brugman.
Lalu ada juga Catatan si Boy. Saya kurang tahu apakah karya legendaris ini berasal dari sebuah buku atau bukan. Yang jelas penggambaran sosok Boy yang sempurna menjadi khayalan tingkat tinggi remaja seperti saya agar bisa menjadi tokoh ikonik yang diperankan Ongky Alexander itu. Bagaimana tidak, Boy yang anak orang kaya, lulusan luar negeri, digilai banyak wanita, punya teman lucu macam Emon, pergaulan luas, namun tetap rajin sholat. Boy adalah Fahri Ayat-ayat Cinta yang lebih humanis. Walau begitu, sebetulnya cerita Catatan si Boy ini cukup sederhana, cenderung cetek bahkan. Hanya tentang kisah cinta yang kepentok restu orang tua. Pelajaran yang bisa diambil adalah lihat Si Boy, yang begitu sempurna saja calon mertuanya tidak setuju, terus kamu yang masih makan indomi pake nasi, motor beat, odolnya ciptaden, sendalnya swallow beda warna, OOTD-nya kaos partai, dan hobinya rebahan sambil mantengin berita Aurel-Atta ngarep dapet mertua kayak Abu Rizal Bakrie? Ckckckckck…
Namun, semua kembali kepada bahwa sebuah karya menajdi sangat bagus jika sangat relate dan dekat dengan penikmatnya. Mungkin karena itu dilahirkanlah ke dunia seorang Hilman Hariwijaya untuk menulis kisah Lupus. Setelah membaca Anton Rolimpande, menonton Boy, lalu menikmati Lupus, maka saya putuskan bahwa “Ini nih gue banget!”. Tokoh Lupus anak sekolahan yang sederhana, selalu susah payah menarik perhatian lawan jenis, suka menulis di majalah, penggemar band Duran Duran menjadikannya begitu hidup dan mudah diterima.
Dilihat dari segi teknisnya, Hilman Hariwijaya melalui Lupus ini cukup menawarkan sebuah kebaruan buat dunia literasi yang pada zamannya disominasi drama yan nyastra banget. Lupus hadir dengan humor tongkrongan yang menjadi bacaan wajib remaja kala itu. Dari Lupus pula cikal bakal judul-judul buku plesetan bermunculan. Setahu saya ada beberapa judul serial Lupus yang diambil dari judul film hits yang diplesetkan. Seperti Kejar Daku Kau Kujitak, Interview With The Nyamuk, dan yang paling ikonik adalah The Lost Boy, yang covernya bergambar logo film The Lost World namun siluet T-Rex nya diganti dengan siluet khas Lupus yang berjambul dengan gelembung permen karet di mulut.
Dari Hilman Hariwijaya dengan Lupusnya lah saya sedikit belajar bahasa prokem peralihan dari tahun 80an ke 90an. Cembokur, sepokat, pembokat, rokum, ogut, kece, hebring, doski,mejeng, ngelancong, kelokur, adalah contohnya. Banyak pula di serial Lupus, kalau kita jeli, berisi keritikan terhadap Orde Baru yang disampaikan dengan humor satir.
Selain Lupus sendiri, yang tidak bisa dilupakan dari kisahnya adalah duo side kick legendaris bernama Boim dan Gusur. Bacalah yang mana saja serial Lupus, saya tidak pernah tidak ketawa kalau kedua makhluk ini kebagian adegan.
Hilman Hariwijaya yang secara tidak langsung membuat saya sedikit-sedikit menyukai dunia tulis menulis, khususnya tulisan bebas berbau komedi. Walaupun kalau dibaca ulang sekarang serial Lupus ini banyak jokes yang sudah tidak relevan lagi, namun gaya penulisan Hilman pernah saya coba tiru dibeberapa tulisan saya.
Serial Lupus pernah diangkat ke berbagai versi baik film maupun sinteron. Hilman Hariwijaya sendiri pun pernah berperan sebagai Lupus. Tetapi tentu saja yang paling ikonik adalah Ryan Hidayat dalam film dan Irgi Fachrezi di sinetronnya. Pernah juga diremake ke layar lebar dan diperankan oleh Miqdad Ad-dausi dengan lawan main Acha Septriasa. Kurang memuaskan, sih, karena Lupusnya kelewat alim.
Saya masih berharap ada produser yang mau mengangkat lagi kisah Lupus ini. Bintang Emon cocok tuh jadi cast Lupus. Ngocolnya sudah tidak perlu dicasting lagi. Ayo, bangun lagi, dong, Lupus =)