Set dah, tidak terasa sudah dua tahun ternyata saya tidak traveling. Saya pernah menulis bahwa saya seperti sudah kehilangan ‘hasrat’ pergi-pergi ngebolang seiring dengan perkembangan situasi dunia. Ya pandemi, ya menikah. Pandemi belum kelihatan ujungnya di mana, sementara menikah membuat saya punya dunia baru yang perlu diisi dengan segenap kemampuan mental hingga finansial. Traveling menjadi prioritas nomor sekian, jauh di bawah mengantar istri ke pasar atau sekadar memupuk kebiasaan untuk tidak menimbulkan porak poranda lemari saat mengambil baju di tumpukan bagian tengah.
Tapi biar bagaimanapun, dulu traveling pernah menjadi
kegiatan berulang, pendeknya, pernah menjadi hobi bagi saya. Seperti pada
umumnya, sesuatu yang dulunya rutin dan sekarang tidak lagi dilakukan akan
membuat sebuah rongga di memori otak. Rongga itu berisi kenangan yang kapan
saja bisa bisa teraktivasi oleh berbagai pemicu. Kenangan yang bikin rasanya
kepingin banget balik ke momen itu padahal dulu waktu rajin jalan-jalan rasanya
biasa saja.
Berikut adalah hal-hal yang saya rindukan ketika traveling:
· Tidur di Stasiun atau Bandara
Waktu di Singapura selama dua hari, saya
sama sekali tidak booking penginapan. Sampai bandara pagi, lalu keliling
Singapura sampai malam, balik lagi ke bandara nyari lapak buat tidur. Pas
menunggu kurang lebih 5 jam transit di KLIA 2, di sebuah sudut terbuka saya
tidur tanpa alas dan berbantalkan ransel dengan bonus siraman sinar matahari
Kuala Lumpur. Berbeda lagi cerita waktu ke Cirebon, kereta pulang pukul 8 pagi,
sedangkan saya sudah berada di stasiun lepas tengah malam. Jadi lah gelar
matras di sela-sela bangku ruang tunggu.
· Packing Ketika Turun Gunung
Ada rasa bangga yang begitu personal kalau bisa mengepak barang bawaan secara efisien. Apalagi ketika naik gunung. Bawaan yang banyak namun dimensi ruang untuk menambawanya amat terbatas menjadikannya tantangan tersendiri. Rasanya begitu gagal kalau naik gunung tapi masih ada bawaan yang ditenteng di tangan bukannya masuk tas.
Nah, packing rapih pas naik gunung sih sudah biasa. Karena sudah direncanakan, dihitung, ditambah antusiasme tinggi sehingga ruang-ruang di dalam keril bisa terisi dengan baik. Packing pas turun gunung jauh lebih seru. Tidak ada yang lebih rusuh dari packing ketika turun gunung. Biasanya beres-beres sebelum turun ini dimulai sesudah summit attack. Badan lagi capek-capeknya tapi harus gulung tenda.
Packing turun ini dilakukan biasanya sambal masak untuk isi tenaga perjalanan menuruni jalan menuju basecamp. Berbeda dari packing ketika naik, packing ketika turun ini bawaannya kepengin cepat-cepat selesai. Baju kotor asal lipat, peralatan masak dan makan yang penting bersih bisa masuk tas entah bagaimana caranya, bodo amat sama sleeping bag yang ditaruh di bagian atas, kaos kaki basah? Bisalah ditaruh di kompartemen samping tas. Bahkan kadang bingung, kok bawaan pulang lebih berat dari bawaan pergi.
Lucunya kalau ada logistik sisa. Teman-teman sependakian pasti main tunjuk-tunjukkan siapa yang harus membawanya turun. Apalagi kalau itu berbentuk makanan kaleng, haduh, kalau bisa diobral mah udah pasti diobral itu. Belum lagi benda-benda printilan yang pasti ada saja yang ketinggalan dipacking, membuat kita mau tidak mau bongkar tas lagi. Begitulah, saya kepingin merasakan lagi suasana itu.
·
Menyusun Itinenary
Sebetulnya ini dilakukan sebelum
melakukan traveling. Tapi saya kepingin lagi Menyusun segala sesuatu supaya
acara jalan-jalan bisa in line antara tujuan dan budget. Terutama kalau pergi
sendirian, bikin itinenary ini wajib, karena itu satu-satunya pegangan biar di
tempat tujuan malah nanya ke diri sendiri, “Ngapain lagi, nih?”. Saya bukan
tipe yang jalan-jalan ikut aja ke mana kaki melangkah.
Mencatat perkiraan waktu, cek
jadwal kereta, mengukur jarak penginapan dengan bandara, harga tiket masuk
suatu tempat, ongkos angkutan umum di daerah tujuan, mengestimasikan biaya,
hingga bikin rencana cadangan adalah hal paling mengasyikan dalam Menyusun itenenary.
Kebahagiaan bisa berlipat-lipat kalau semua yang ada di dalamnya berhasil
terceklis.
Itinenary terpanjang yang pernah saya buat adalah ketika solo traveling ke Kamboja, Laos, dan Thailand. Waktunya kira-kira seminggu lebih. Rencana perjalanan itu saya susun lebih dari sebulan. Karena itu perjalanan menurut saya penuh resiko. Sendirian, ke negara baru, dan tentu saja dengan anggaran pas-pasan. Saya mengusahakan sekecil mungkin deviasi baik dari sisi tujuan maupun keuangan.
Maaf fotonya Jalan Sabang. I know, enggak nyambung. Stock foto abis. |
· Luang Prabang
Tentu saja. Suatu hari saya mesti balik lagi ke sini bersama istri dan anak saya. Pemda sana mengklaim bahwa Luang Prabang adalah the most romantic city in South East Asia, dan saya malah ke sana sendirian waktu itu.
Ingin rasanya mengulang menyusuri jalan raya yang kanan kirinya berdiri bangunan klasik khas Prancis, melihat lalu lalang biksu, menikmati temaram lampu-lampu bar dan restoran, juga makan siang di long boat tail sambil menyusuri sungai Mekong. Dan saya ingin melakukannya lagi bersama istri, dan anak. Ya Allah, kabulkan ya Allah. Aamiin.
Well, banyak sih sebetulnya kalau mau diingat dan
diceritakan satu-satu yang dikangenin waktu traveling. Segini saja dulu
ceritanya. Kalau kamu juga sudah lama tidak traveling dan ada hal yang dikangenin
juga, boleh loh share di kolom komentar, Jangan lupa ajak sanak saudara, handai
taulan, dan segenap jajaran RT/RW setempat.
0 komentar:
Post a Comment