Monday, 23 May 2022

Paolo Maldini, Menembus Batas Dalam Keterbatasan

 23 Mei 2022, Senin pagi yang berbeda saya rasakan dari biasanya. Untuk para fans sepak bola Eropa, biasanya mood di hari awal pekan ini ditentukan oleh hasil hingar bingar pertarungan tim kesayangan di hari Minggu. Jika menang, maka sepanjang Senin hari terasa begitu cepat, hati lapang, dan langkah begitu ringan. Sebaliknya kalau kalah, bisa dipastikan Senin akan terasa seperti neraka kecil.


Senin pagi ini sedikit berbeda dari biasanya. Setelah sebelas tahun penantian merasakan kering kerontang prestasi, akhirnya AC Milan, klub favorit saya juara. Berangkat ke kantor rasanya plong, untuk pertama kalinya kejam kemacetan ibukota Senin pagi tidak mengusik sama sekali.

Menjadi tifosi AC Milan adalah sebuah perjalanan panjang. Kejayaan, keterpurukan, kalah, menang, tragedi Istanbul, tergocek transfer Biabiany, melihat Essien jadi kapten, flank kiri diisi Kevin Constant, Mr. Bee, Barbara Berlusconi, Yonghong Li, jual bus tim, pemain bintang berkode Mr. X yang dijanjikan akan direkrut ternyata Antonio Nocerino, hampir dinyatakan bangkrut, 0-5 lawan Atalanta, hingga kini dapat Scudetto ke-19 telah saya lewati.

Dalam perjalanan itu, ada satu nama yang pasti selalu hadir. Paolo Maldini. Sang legenda hidup, Optimus Prime, one man one club, seorang utusan dalam kitab suci AC Milan. Scudetto ke-19 yang baru diraih Milan malam tadi mustahil terjadi jika Paolo Maldini memutuskan untuk menolak ajakan Elliot Funds untuk ‘beresin’ Milan yang selama 7-8 tahun berada di fase kelam.

“Mereka menghancurkan Milanku!” Ujarnya di tahun 2014, ketika klub kehilangan arah dengan menginvestasikan uang pada pemain-pemain yang kurang tepat. Berani menyatakan pendapat, berani bersebrangan bahkan dengan Milanisti.

Pemilik Tiongkok datang, ajakan bergabung ditolaknya padahal dijanjikan oleh gelontoran jutaan Euro. Media dan fans menuduhnya tidak lagi cinta Milan. Namun, belakangan semua sadar, itu semua karena Maldini enggan masuk ke sistem tanpa perhitungan yang bisa menjadikan Milan terperosok lebih dalam. Jiwanya yang dialiri darah merah hitam tidak sampai hati. Intuisi yang dibarengi oleh cinta memang tidak pernah salah.

Ketika Elliot datang meminangnya untuk jadi direktur teknik, Maldini menerimanya. Padahal manajemen sudah mewanti-wantinya dengan sumber yang terbatas. Namun, intuisi dan hasrat sang legenda untuk mengembalikan jiwa Milan begitu kuat, ia yakin bahwa yang mampu mengangkat Milan kembali ke tempat tertinggi hanyalah proyek yang berkelanjutan di mana prestasi dan finansial berjalan seiya sekata. Di saat klub rival mendatangkan pemain ‘jadi’ dengan harga mahal, Maldini hanya punya kurang dari 30 juta euro untuk membentuk Milan.

Maldini perlahan membawa Milanisti kembali ke masa kini dan tidak larut dalam utopia sebagai penguasa Eropa di masa silam. Ia seperti tahu, kapan waktunya klub kesayangannya bangkit. Ia terima segala keterbatasan. Ia abaikan ragu publik dalam diri Theo, Leao, Saelamaekers, Kalulu, yang pada awal kedatangannya membuat dahi mengernyit bertanya siapa mereka. Kepercayaannya kepada proses menyembuhkan AC Milan.



Dari keterbatasan itu lah ia bisa menembus batas. Juara dengan skuad murah namun efektif. Scudetto ke-19 ini awalanya seperti kemustahilan. Paolo Maldini membuat batas kemustahilan dan kenyataan menipis hingga musnah. Paolo Maldini. Penerus trah Maldini yang seluruh karirnya untuk AC Milan. Tidak ada yang lebih AC Milan daripada nama Paolo Maldini. Ia anak seorang pemain, dan pelatih AC Milan. Ia adalah simbol kejayaan AC Milan di masa lalu hingga masa kini. Ia adalah seorang ayah dari pemain AC Milan. Bahkan takdir enggan mengijinkan Paolo Maldini untuk angkat piala selain dengan seragam merah-hitam. Tidak untuk klub lain, bahkan ngeranya sendiri. Semua hanya di Milan, Milan, dan Milan.

Entah apakah pernah terbesit dalam benaknya nama klub lain selain AC Milan. Tetapi dua tahun belakangan semuanya tergambar jelas dari tribun penonton saat Paolo mendampingi AC Milan bertanding. Ketika melihatnya tersenyum penuh passion ketika Milan menang, atau muka masamnya yang seperti kena musibah besar ketika kalah, rasanya Milanisti tidak perlu lagi mempertanyakan apakah ada klub lain selain AC Milan di dalam hati seorang Paolo Maldini. Seseorang yang mempu menembus batas dalam keterbatasan.

Tanpa mengurangi hormat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam gelar ke-19 AC Milan, secara pribadi saya mengucapkan Grazie Paolo, untuk Senin yang indah ini!

 

 

Share: