Friday, 17 June 2022

Podcast Langgananku

Tanda dewasa (atau tua) salah satunya adalah mulai malas dengerin lagu-lagu baru. Makanya seenak apapun lagu-lagu di album terbarunya Tulus, saya enggak pernah denger kalau bukan dari Instastory kawan-kawan yang memvideokan jalan tol dari point of view dashboard mobil lalu diberi sisipan lagu Hati-Hati di Jalan. Preferensi musik saya berhenti di jaman Sheila on 7, Padi, Dewa pas Dhani masih sama Maia, sampai paling jauh ya Fourtwnty, lah. Setelah itu, ya sudah, lagu-lagu kekinian saya jarang yang tau.


Ini membuat fungsi aplikasi streaming audio saya sangat jarang memutar musik. Saya lebih suka memutar siniar (podcast). Semakin bertambah usia, saya menyadari bahwa lebih asyik ngobrol daripada nyanyi, walau cuma mendengarkan. Dulu saat radio masih jaya saya pernah merasakan asyiknya mendengar obrolan tongkrongan Jimi-Buluk di siaran pagi, atau jokes-jokes receh namun relate ala Surya-Molan. Nah, karena sekarang radio lebih banyak lagu dan iklannya, maka saya beralih dengerin podcast.




Saya ada beberapa siniar langganan yang kerap menjadi teman perjalanan saya dari rumah ke kantor. Kebanyakan kreator siniar tersebut diisi oleh publik figur dan stand up komedian. Harus diakui, kemampuan stand up komedian dalam public speaking dan mengolahnya jadi humor menjadi daya tarik tersendiri untuk saya. Berikut podcast langganan saya:

1. Podcast Senggol Bacot

Konten ini saya dengerin di platform Spotify. Siniar ini berisi 4 komika Betawi yaitu David Nurbiyanto, Afif Xavi, Dicky Diffie, dan Yudha Brajamusti. Karena dibesut oleh 4 seniman Betawi, premisnya tentu saja soal keresahan sebagai suku Betawi. Atribut Betawi ini yang membuat saya tertarik sejak pertama dengerin. Karena saya juga Betawi asli. Soal tanah warisan, keluarga Betawi, politik, hingga rumah tangga sebagai orang Betawi dibahas dengan format obrolan lepas ceplas-ceplos khas Betawi. Saking dekatnya topik obrolannya dengan kehidupan saya, enggak jarang tanpa sadar saya tertawa ngakak atau mata berkaca-kaca karena terharu.


2. Podcast Berbeda Tapi Bersama

Mungkin ini siniar paling berisi daging yang saya dengerin. Pengisinya adalah Habib Husein Ja’far Al Hadar. Temanya adalah mengangkat segala sesuatu yang kalau dilihat sekilas adalah kelompok minoritas namun ada di tengah-tengah kehidupan sehari-hari kita. Misalnya pembaca kartu tarot, agama Sikh, suku-suku di Indonesia. Walaupun begitu, sentuhan dan pandangan dari balik kacamata agama dalam memandang itu semua tetap menjadi tambahan wawasan tanpa membuat kita merasa diceramahi. Secara implisit podcast ini ingin bilang kita enggak pernah sendirian di dunia ini. Siniar ini bis akita dengarkan di Noice.


3. Podcast Boba

Boba adalah akronim dari Bola Banget. Sebagai anak bola, rasanya ini podcast yang paling enak didenger. Kualitas Jerry Arvino sebagai sportcaster dan Afif Xavi sebagai komedian betul-betul perpaduan apik antara trivia-trivia dunia sepak bola dan humor satir di dalamnya. Kadang ada juga bintang tamu yang ngefasn dengan klub tertentu, mulai dari komedian hingga politikus. Episode favorit saya ketika mereka kedatangan Tsamara Amany, wonder kid dunia politik eks kader PSI. Pengetahuannya soal sepak bola bikin minder coy! Cus, ketik saja Boba di kolom pencarian Noice.


4. Podcast Hiduplah Indonesia Maya

Netizen mestinya suka dengan podcast yang satu ini. Dibawakan oleh Pandji Pragiwaksono di Noice. Sebelum review isinya, saya ingin mengutarakan kekaguman saya terhadap Pandji. Ini satu-satunya podcast yang pembicaranya sendirian dan saya suka. Kapasitas Pandji Pragiwaksono sebagai salah satu public speaker terbaik di dunia hiburan tanah air sangat terlihat dari cara dia menghandle siniarnya ini. Enggak heran dia pernah didapuk jadi juru bicara salah satu calon gubernur. Di podcast-nya ini, Pandji ngomongin apa-apa yang lagi rame dan viral di dunia maya. Mulai dari review film, statement viral di medsos, dan tentu saja politik. Pandji bisa mengulik perbincangan yang sedang hits dari sudut pandang berbeda dari arus utama. Untuk yang enggak mau ketinggalan topik-topik hangat dunia maya dan keributan netizen dengan opini yang insightful, podcast ini layak masuk daftar subscribe.


5. Podcast Beban Istri

Sumpah ini podcast di Spotify kocak banget, sih. Obrolan selebtwit Renne Nesa (makmummasjid) dan komika Heri Horeh istri-istrinya bekerja sementara mereka pengangguran. Yang bikin podcast ini ‘ngena’ bukan karena relatable-nya dengan saya, tetapi karena mereka membawakannya karena sudah berdamai dengan keadaan bahwa penghasilan istri mereka lebih besar dan teratur. Jadinya ya lucu banget. Kadang ada bintang tamu juga dari kalangan selebtwit atau konten kreator lain yang jadi ‘beban istri’.


Masih ada beberapa sih podcast yang suka saya dengerin untuk menemani rute rumah-kantor. Tetapi podcast di atas yang paling sering. Kalau di akhir tahun yang lain rekap Spotify-nya lagu-lagu, kalau saya ya podcast. 

Gimana, ada podcast rekomendasi lain kah? Skuy ramein, kalo rame lanjut ke Pak RT…

Share:

Monday, 13 June 2022

Inkonsistensi Yang Membuat Indonesia Susah Maju Dilihat dari Sudut Pandang Bapak-bapak Komplek Sebelah


Salah satu kunci sukses yang paling mendasar menurut saya adalah konsistensi. Bahkan, konsisten gagal adalah jalan menuju sukses. Kalau kata Pak Bob Sadino, “habiskan jatah gagalmu sampai sukses”. Kalimat itu menyiratkan bahwa gagal dengan intensitas stabil bisa membawa kita ke pintu keberhasilan.

Masalah kenapa negara kita susah maju, kenapa enggak pernah masuk Piala Dunia, kenapa gini-gini aja, salah satunya ya karena kita kebiasaan dengan ikonsistensi. Malah diperparah dengan kurang spesifiknya informasi ketika berkomunikasi Contohnya nih,

1. Habis [insert waktu sholat]

Ini biasanya untuk merujuk waktu ketika janjian atau prediksi kapan suatu peristiwa akan terjadi. Yang jarang sholat saja kalau janjian sering menyebut “habis maghrib lah gue jalan”. Saya pernah janjian sama teman di hari minggu, dia jawab, “tunggu gua balik gereja, ya. Abis zuhur, lah.” LAH.

Yang jadi masalah untuk penunjuk waktu sehabis sholat ini adalah tentu saja ketidakkonsistenan karena setiap orang pasti punya standarnya sendiri. Misalnya habis ashar, kapan itu persisnya? Apakah ketika tepat muadzin selesai adzan? Adzan di masjid yang mana? Apakah ketika balita-balita habis mandi dengan muka penuh bedak mulai keluar main sama mbak-mbaknya? Ataukah menjelang maghrib? Bukankah waktu isyapun masuk habis ashar?

Coba bayangkan kalau lembaga intelejen suatu negara mendapat informasi kurang valid karena kebiasaan pakai penunjuk waktu ini,
"Target terlihat sedang bergerak, Pak! Ganti kijang satu."
"Kijang dua terima. Bergerak ke arah mana? Ganti."
"Utara. Ganti."
"Kapan kira-kira sampai lokasi? Ganti."
"Ummm...habis lohor, lah."
Singkat cerita kijang satu abis dikeroyok musuh karena kijang dua baru datang jam tiga kurang.


2. Habis Gajian

Sobat UMR pasti paham, nih. Untuk yang pengangguran bisa skip poin ini. Untuk yang punya cicilan mestinya sangat akrab dengan penunjuk waktu ini karena di sinilah hari di mana saldo rekening menggelembung dan menyusut di hari yang sama. Penunjuk waktu karet ini juga sering dimanfaatkan mereka yang pinjam uang ke teman, “gue ganti abis gajian”, begitu janjinya.

Dan lagi, habis gajian ini sangat tidak konsisten. Gajian setiap orang tidak sama. Yang PNS, yang pegawai swasta, yang gaji istrinya lebih gede, yang UMR Yogya gaya CEO startup, yang gajiannya di bank yang ATM-nya jarang, yang kerja di SCBD gaji capede, gajiannya pasti berbeda. Ada yang akhir bulan, ada yang awal bulan. Belum lagi kalau ditelaah lebih detail, habis gajian ini kapan persisnya. Setelah gaji habis? Atau sesaat setelah gaji masuk rekening? Enggak konsisten, kan? Makanya jangan heran banyak yang bikin thread di sosmed ngamuk-ngamuk piutangnya enggak terbayar karena yang berutang seperti aktivis negara Togo jaman dulu yang suka kritik pemerintah, alias hilang.


3. Segede Gaban

Pernah baca kalau istilah ini ada karena dahulu pernah ada patung Gaban di Dufan dengan ukuran raksasa di salah satu wahananya. Untuk yang belum tahu, sekadar informasi bahwa Gaban adalah salah satu superhero metal buatan Jepang tahun 80-an. Nah, mungkin waktu itu masih relate dengan istilah segede Gaban, tetapi untuk milenial akhir dan gen Z, kemungkinan besar hanya ikut-ikutan saja ketika menggambarkan sesuatu yang besar dengan satuan ukur ‘segede Gaban’. Ini enggak konsisten, karena preferensi orang tentang Gaban ini pasti berbeda. Ada yang membayangkan Gaban asli, ada juga Gaban versi Dono di film Warkop, ada juga Gaban yang jadi lagu anak ‘Gaban-gaban Kita Berjumpa Lagi’.

Ini Gaban ori versi Jepang. Gambar ini saya design sendiri. Yang mau saya bikinin design buat cover blogpostnya, boleh banget, harga nego.


Menurut saya, sih, karena istilah Gaban ini sudah umum, lebih baik dijadikan standar baku saja di Indonesia. Para ilmuwan, insinyur, ahli bahasa, dan Pak Luhut mesti duduk bersama untuk menentukan segede gaban ini ukuran tinggi, panjang, lebar, dan dimensi lainnya seberapa besar. Supaya kalau ada orang yang jual barang lumayan besar di Shopee enggak perlu repot menjelaskan ukuran dimensinya. Tinggal tulis saja, ‘segede Gaban’. Atau bakukan juga di KBBI biar ada kosakata baru dalam berperibahasa, “Semut di seberang lautan kelihatan, gajah segede Gaban di pelupuk mata tidak kelihatan”.

Itu contoh inkonsistensi yang menurut saya ikut berkontribusi kenapa masih banyak warga Indonesia yang hobi nontonin orang live TikTok mandi lumpur sementara negara lain sudah familiar dengan teknologi WC duduk yang air buat ceboknya terdiri dari berbagai varian rasa dan suhu.

Saya masih punya beberapa cerita menarik lagi soan ketidakkonsistenan ini. Gimana, mau lanjut gak? Lihat hasil postingan ini dulu, deh. Kalau rame lanjut part 2…



Share: